Kamis, 21 Mei 2009

KabarIndonesia BY.DETIUS YOMAN

KabarIndonesia

BY.DETIUS YOMAN

Koordinator kolektif Lembaga Pers dan Otsus Papua (LPOP) Frits B Ramandey mengatakan 11 kursi bagi penduduk asli Papua karena UU Otsus perlu dipikirkan mekanisme untuk memperoleh jatah kursi tersebut.

“Berbeda dengan UU Otsus NAD di Aceh sudah memiliki partai politik local sehingga mekanismenya jelas melalui Pemilu untuk merebutkan kursi tersebut bagi orang Aceh,” ujar Ramandey mantan Ketua AJI Biro Kota Jayapura di Jayapura Sabtu (8/11) di sela sela diskusi LPOP jelang peluncuran buku berjudul Demokrasi dan Perjuangan Damai di tanah Papua yang direncanakan berlangsung Selasa (11/11).

Ditambahkan sejak Pemilu 2004 lalu ternyata ada 11 kursi tambahan bagi anggota DPRP dan mekanisme mereka sebagai anggota dewan belum pula ditentukan. Bahkan penentuan 11 kursi justru melanggar aturan. Pasalnya kalau mengikuti aturan UU No :10 /2008 pasal 23 kalau berdasarkan jumlah penduduk 1 juta sebanyak 35 kursi sedangkan 1 juta sampai 3 juta terdapat 45 kursi di DPRD Provinsi atau Dewan Perwakyat Papua (DPRP).

“Namun demikian faktanya sudah dipraktekan dalam Pemilu 2004 lalu,” ujar Anum Siregar Direktur ALDP Papua dalam Diskusi Pemilu 2009 yang dilaksanakan oleh Lembaga Pers dan Otsus Papua belum lama ini di Jayapura.

Anum Siregar menjelaskan, sebenarnya sudah melanggar aturan dan tidak ada mekanisme yang dipakai dalam memilih mereka. “Jadi sekarang di DPRP ada 56 kursi sesungguhnya sudah termasuk 11 kursi. Tetapi pertanyaannya adalah kalau kita cross check kembali setelah Pemilu 2004 sebenarnya 11 kursi itu adalah syarat dari UU Otsus Papua,” tukas Anum Siregar.

“Namun yang tidak jelas adalah siapa mereka yang menduduki 11 kursi tersebut?. Mekanisme pemilihannya seperti apa dan sudah ada kesepakatan internal,” ujar Anum Siregar. Ditambakan Anum Siregar, hal ini jelas sekali telah melanggar aturan dan ketentuan Undang Undang. “Pelanggaran ini jelas menguntung bagi mereka yang memiliki kekuasaan. Aturan adalah negosiasi kepentingan sumber daya politik kelompok siapa yang menang memperoleh sumber daya tersebut,”ujar Anum Siregar.

Menurut Anum Siregar, sebenarnya sebelas kursi ini sudah ada, tetapi kalau ditanyakan kepada mereka apakah mereka merasa mewakili sebelas kursi itu. “Sebab faktanya mereka mewakili partai politik dan kesepakatan siapa sekarang yang ada didalamnya. Kita harus kembali ke Undang Undang agar ada pijakan untuk melangkah ke depan agar lebih jelas lagi,” tambah Anum Siregar.

Menanggapi soal pembentukan Partai Politik lokal di Papua, menurut Anum Siregar, perlu dilakukan amandemen agar bisa dibentuk partai lokal.

“Apakah bisa dimungkinkan sinkronisasi UU Otsus dengan UU Pemilu 2008, kalau saya melihat UU Otsus tidak memiliki kewenangan, Parpol dalam UU Otsus Papua pasal 1 menyebutkan boleh dibentuk partai politik lokal, tetapi pasal 2 menyatakan rujukannya pada Undang undang,” ujar Anum Siregar.

Lalu lanjut, ungkap Anum Siregar di dalam undang undang partai politik mengatakan bahwa untuk membentuk parpol minimal ada 50 % terdapat pada tiap provinsi di Indonesia. “Artinya bahwa partai lokal tidak mungkin ada di Papua. Terkecuali kita mengkhianati Otsus atau bahasa sopannya UU Otsus harus dilakukan amandemen,”ujar Anum Siregar.

TPS Khusus Orang Papua
Sementara itu Rudi Mebri dari Yess Papua menegaskan bahwa untuk itu perlu ada mekanisme baru misalnya dengan membuat TPS khusus bagi orang Papua guna memilih wakil-wakil mereka yang akan duduk dalam DPRP melalui sebelas kursi tambahan di luar jatah 45 kursi.

“Kegagalan tahun 2004 adalah tidak ada mekanisme termasuk TPS khusus sehingga masyarakat tidak tahu siapa yang mereka pilih terutama bagi 11 kursi tambahan untuk orang orang asli Papua,” ujar Rudi Mebri.

Selain itu salah seorang pengurus Partai Politik dari Partai Amanah Nasional (PAN) Papua menyatakan sangat heran kalau jatah 11 kursi tambahan baru dibicarakan menjelang Pemilu 2009 dan bukannya merupakan tugas 11 anggota di DPRP untuk menyiapkan mekanismenya melalui UU atau Perdasusnya.

Anggota Komisi A yang membidangi Politik DPRP Henny Arobaya mengaku bahwa itu merupakan kelemahan mereka tetapi dalam menyusun sebuah draft Perdasus atau Perdasi memerlukan mekanisme dan juga masukan masukan dari masyarakat, LSM sehingga prosesnya cukup panjang.

Dosen Fisip dan Ketua KPU Kota Jayapura Drs Henk Bleskadit MSi mengatakan masalah 11 kursi di DPRP memang harus bekerja sesuai mekanisme dan sebagai negara hukum sulit untuk diterima kecuali ada Perdasus yang menetapkan kesebelas calon tersebut.

“Sekarang kita wacanakan dulu agar nanti pada 2015 ada partai lokal bagi sebelas kursi tersebut sedangkan sekarang ini dijalankan sesuai dengan aturan yang ada,” ujar Bleskadit.

Namun yang jelas soal sebelas kursi bagi Mahfud peserta diskusi mengatakan bahwa Otsus punya kewenangan besar tentang sebelas kuris tetapi sebenarnya dalam tatanan teknisnya tidak ada aturan dalam bentuk Perdasi mau pun Perdasus yang mengatur lebih teknis tentang 11 kursi.

“Saya ingin memberikan illustrasi bahwa di Aceh yang sama sama dengan Provinsi Papua menerima UU Otsus tetapi di sana sudah dilakukan tiga kali amandemen. Sekarang di sana sudah ada partai lokal dan sudah ada mekanisme tersendiri,” tegas Mahfud.

Ditambah Mahfud, untuk Pemilu 2009 jelas tidak mungkin sehingga perlu melakukan mekanisme dan juga harus dilakukan amandemen agar dalam Pemilu 2015 partai politik lokal sudah bisa mengikuti Pemilu. Bagi Markus Werimon Wakil Ketua DPD KNPI dan juga wakil dari Partai Merdeka menegaskan bahwa soal sebelas kursi dan Partai Lokal sebaiknya dibicarakan dalam tahun 2014 menjelang Pemilu 2015.

“Hal ini penting agar jangan sampai muncul konflik baru,” tutur Werimon.

Werimo menimpali, semua itu bisa dilakukan setelah UU Otsus Papua diamandemenkan atau harus mengkhianati UU Otsus Papua.

”Begitu pula dengan pembentukan Partai Politik Lokal harus didirikan pada 2014 ke atas. Dengan UU Parpol yang baru nanti dihasilkan pada DPRP 2015 nanti,” ungkap Werimon seraya menegaskan anggota DPRP periode lalu tidak memiliki jiwa petarung sehingga tidak mampu memperjuangkan partai lokal di Papua.

Menanggapi soal mengukur keterwakilan perempuan Papua dan kemampuan perempuan Papua sebenarnya, menurut Henny Arobaya, tidak menjadi soal karena kemampuan perempuan Papua juga sudah sangat maju dan masalahnya adalah kesempatan untuk berkarya yang belum dimanfaatkan secara maksimal.

“Selama lima tahun beraktifitas di DPRP ternyata perempuan Papua juga mampu melakukan tugas legislasi dengan baik dan kekurangan yang terjadi sudah merupakan tanggungjawab kami untuk melaksanakan tugas sebaik mungkin,” ujar Arobaya.

Selain itu soal hasil Pemilu 2009 nanti apakah memakai jumlah suara terbanyak atau nomor urut sesuai dengan Pemilu 2004 lalu. Menurut Anum Siregar lebih cenderung memakai nomor urut karena jumlah partai politik sangat banyak sehingga tidak mungkin meraih suara terbanyak.

“Karena dengan banyaknya partai sangat tidak mungkin orang mendapatkan suara sebanyak 30 persen. Jadi tetap patokannya adalah nomor urut,”tegas Anum Siregar seraya menambahkan itu hanya untuk menyenangkan saja dan itu bukan pendidikan politik yang baik.

Ditambahkan Anum Siregar, untuk ketakutan golput dari pemerintah sebenarnya sangat tidak mungkin terjadi sebab orang akan memilih para wakilnya dan banyak pilihan dalam menentukan wakil-wakil mereka.

Kewajiban Saat Mengendarai Otsus

In Laporan Utama on Sabtu, September 27, 2008 at 3:41 am

Sejak UU Otsus terbit, pemerintah belum melakukan supervisi dan inter-mediasi, baik kepada pemerintah daerah Provinsi Papua, DPRD, maupun MRP, Akibatnya, tatacara atau mekanisme perekrutan anggota legislatif untuk 11 kursi tak jelas.

TERKAIT posisi 11 kursi di DPRP yang diperuntukkan bagi orang asli Papua sesuai amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua (UU Otsus) di Pasal 6 Ayat 4: “jumlah anggota DPDP adalah 1 1/4 (satu seperempat) kali dari jumlah anggota DPRD Provinsi Papua sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan”. Maka Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) Provinsi Papua, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Jayapura, dan Pergerakan Mahasiswa Kristen Republik Indonesia (PMKRI) Jayapura, Senat Mahasiswa Sekolah Tinggi Teologia (STT) GKI I.S. Kijne Abepura, Senat Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Ottow dan Geissler Jayapura mengeluarkan press realesenya, Selasa, 19 Agustus 2008 lalu.

Organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP) dan senat mahasiswa perguruan tinggi ini berpendapat, sejak tebitnya UU Otsus, pemerintah belum melakukan supervisi dan inter-mediasi, baik kepada pemerintah daerah Provinsi Papua, DPRP, maupun MRP. “Kami lihat ada tindakan pembiaran yang sengaja dilakukan pemerintah pusat untuk tidak serius melakukan asistensi, guna memberdayakan lembaga-lembaga penting di Papua untuk melakukan tugas dan fungsi sesuai amanat UU Otsus bagi Papua. Bahkan sejak UU Otsus berlaku, belum ada komunikasi serius antara KPUD periode 2004-2009, DPRP periode 2004-2009, Gubernur Papua periode 2006-2011 dan MRP untuk berdialog mengenai tatacara atau mekanisme perekrutan anggota legislatif untuk 11 kursi,” terang Ketua BPC GMKI Jayapura, Nomensen Mirino.

Maka berdasarkan wewenang dan tanggungjawab KPUD Papua periode 2008-2013, seharusnya perlu memberikan penjelasan berupa klarifikasi kepada publik tentang mekanisme prosedur (tatacara) yang telah digunakan merekrut 11 anggota DPRP sesuai UU Otsus. Terus yang perlu dicermati untuk diklarifikasi ke publik, yakni masalah pilihan mekanisme 11 kursi melalui sejumlah partai (tidak diketahui partai mana) yang sudah terpakai periode 2004-2009. Sekaligus juga KPUD perlu menjelaskan dasar hukum penggunaan mekanismenya.

“Perlu juga diadakan pemetaan secara jelas partai-partai mana saja dan orang-orang siapa saja di DPRP yang sudah menggunakan 11 kursi dari jasa kendaraan Otsus itu. Kami juga mempertanyakan pendapat Ketu DPRP beberapa waktu lalu yang menunda langkah-langkah penyusunan sebuah dasar hukum bagi penggunaan 11 kursi itu hingga 2014 mendatang. Pernyataan Ketua DPRP dimaksud, sesungguhnya sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip keberpihakan kepada amanat UU Otsus,” terang Nomensen membacakan press realesnya di Kantor GMKI di Abepura, Kota Jayapura.

Padahal komposisi DPRP periode ini (2004-2009) secara defacto telah mengakomodir 11 kursi yang adalah amanat UU Otsus bagi orang asli Papua. “Mengapa selama periode berjalan hingga saat ini, pihak dewan belum melakukan upaya memperjelas mekanisme yang baik, guna memperoleh 11 kursi di DPRP Papua periode 2009-2014 nanti sebagai langkah konkrit menegakkan amanat UU Otsus. Padahal, penambahan 11 kursi di legislatif sangat berpengaruh terhadap perubahan nomenklatur DPRD yang kemudian menjadi DPRP (Papua).

Selain itu juga, adanya penambahan sebuah komisi yakni Komisi F di DPRP. Sehingga komisi di DPRP yang tadinya hanya lima komisi (A-E), kini menjadi enam komisi. Semua itu merupakan dampak kehadiran dari 11 kursi dimaksud. Sepertinya ada kesan DPRP ingin menggapai 11 kursi yang adalah hak Otsus dengan menggunakan kendaraan partai politik belaka. “Pemerintah daerah dalam hal ini Biro Hukum selama ini lalai menyiapkan sebuah konsep mengakomodir 11 kursi sesuai amanat UU Otsus. Gubernur sebagai penyelenggaraan pemerintah daerah selama ini, belum melakukan koordinasi baik dan terkesan mengabaikan tanggungjawab,” terang Nomensen.

Terkait dengan Pasal 28 UU Otsus bagi Papua, maka secara yuridis, pasal itu memberikan kemungkinan membentuk partai lokal. Namun problemnya, hingga saat ini belum ada terbentuk partai lokal. Jika kalau pun pernah ada partai lokal yang muncul, tapi belum diakomodir pemerintah daerah. Padahal ketika pembahasan untuk UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu di DPR-RI, ada waktu yang cukup untuk kajian konsep bagi 11 kursi bisa didorong dan termasuk pembentukkan partai lokal.

Dalam menyiasati tepenuhinya 11 kursi di DPRP periode 2009-2014. “Kami dari berbagai OKP dan juga berdasarkan peluang ‘mencari mekanisme’ yang telah diberikan KPU Pusat ke KPU Papua, terutama menyiasati mekanisme bagi 11 kursi di DPRP, kami minta KPU Papua segera memutuskan sebuah mekanisme bagi prosedur tatacara perekrutan bagi anggota legislatif yang menggunakan 11 kursi di DPRP dengan menggunakan dasar hukum UU Otsus Papua sebagai bahan pertimbangan,” terangnya.

Selain beberapa mekanisme yang sudah dibicarakan bersama. “Ada beberapa alternatif mekanisme yang kami tawarkan. Untuk mekanismen pemilihan, bisa mengacu ala DPD, di lima daerah pemilihan (Dapil) MRP di Provinsi Papua, yakni Tabi (Mamberamo-Tami/Mamta), Lapaga (Jayawijay), Mepaga (Paniai), Ha-anim (Merauke), Saireri (Teluk Cenderawasih). Di mana kuota kursi disesuaikan jumlah penduduk, nama-nama calon mendapat persetujuan dari MRP, nama-nama calon dicantumkan berdasarkan daerah pemilihan (5 Dapil) yang tersedia untuk Provinsi Papua,” jelasnya.

Terus, belum tersedianya ‘Partai Lokal’ (sesuai Pasal 28 UU Otsus), dan juga belum adanya perangkat hukum yang mengatur mekanisme tatacara rekrutmen 11 anggota DPRP itu, maka sebuah solusi alternatif lainnya, yakni ‘Mekanisme Penunjukkan’. Rekrutmen ini dilakukan melalui penunjukan melalui MRP sesuai dengan Dapil MRP. Penunjukkan itu berdasarkan kriteria kualitas calon melalui prosedur seleksi (ala fit and proper test) dengan memperhatikan keterwakilan (adat, agama, dan perempuan). Jumlah utusan daerah per-Dapil disesuaikan perbandingan jumlah penduduk setiap Dapil. Dari lima Dapil, diwakili masing-masing dua utusan dan satu Dapil yang jumlah penduduknya terbanyak mendapat tiga untusan. “Sehingga jumlahnya mencapai 11 kursi.

“Mengingat perjalanan Otsus Papua hanya tinggal 17 tahun, dan juga 11 kursi di DPRP masih terus tak jelas kegunaannya sesuai dengan amanat Otsus. Apalagi ada pendapat tunggu tahun 2014. Artinya kalau tahun 2014, maka Otsus di Papua tinggal 12 tahun saja. Maka sangat disesalkan peluang-peluang yang diberikan untuk orang Papua membenahi dirinya di lembaga-lembaga yang tersedia akan sia-sia bertahun-tahun lamanya, yakni setengah dari periode Otsus 25 tahun terbuang sia-sia,” terangnya.
Selanjutnya, mengacu pada UU Otsus di Bab VII tentang ‘Partai Politik”, Pasal 28 Ayat 3 dan 4. Maka di Ayat 3, rekrutmen politik oleh partai politik di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua. Terus Ayat 4, partai politik wajib meminta pertimbangan kepada MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen politik partainya masing-masing.

“Untuk itu, kami minta semua partai politik di Papua dapat memperhatikan kedua ayat itu dan melaksanakannya secara bertanggungjawab. Jika selama ini partai politik tidak atau belum melakukan rekrutmen sesuai dengan kedua ayat itu, maka MRP dapat menggugat partai-partai politik dimaksud dan partai itu tak layak mengikuti Pemilu 2009. Bahkan tak menutup kemungkinan jika partai politik tak menghargai kedua ayat itu, maka Pemilu 2009 perlu diboikot MRP dan seluruh rakyat Papua,” paparnya.

Selain itu, menurut Nomensen, pihaknya bersama beberapa OKP dan Senat Mahasiswa di Papua mendesak semua pihak yang berkompeten seperti KPUD Papua, DPRP, pemerintah daerah Provinsi Papua, dan MRP untuk menggunakan waktu yang tersisa ini untuk mendorong 11 kursi di DPRP sesuai amanat UU Otsus bagi Papua. “Pokok-pokok pikiran ini dibuat berdasarkan keprihatinan yang mendalam atas ketidakjelasan 11 kursi di DPRP Papua hingga saat ini. Kiranya semua pihak yang berkompeten tidak menutup mata hati dan nuraninya untuk berpihak kepada orang asli Papua,” tandas Nomensen yang didampingi Ketua DPC PMKRI Jayapura, Simon Petrus Baru. *** cunding levi dan adolvina rumbewas



”Kalaupun nanti ada golput yang pertama mengintropeksi diri adalah pihak pemerintah,” tukas Anum Siregar. Selain itu, Gabriel Maniagasi mengingatkan sebaiknya memanfaatkan hak pilih anda agar tidak menyesal nanti dalam menilai atau membantah kinerja parlemen atau anggota dewan nanti. “Jangan salah manfaatkan untuk kepentingan yang lain,” ujar Maniagasi.

Bagi Bleskadit harus dipahami bahwa keterwakilan 30 persen kaum perempuan hanya dalam pendaftaran pencalonan dan bukan pada waktu ditetapkan.

“Karena tergantung pada suara terbanyak dan tergantung pula pada nomor urut,” ujar Bleskadit seraya menambahkan bagi PNS yang hendak mencalonkan diri jadi anggota DPRP harus mengundurkan diri PNS.

Bleskadit juga memberikan contoh daftar caleg di Kota Jayapura seluruhnya berjumlah 900 caleg untuk merebutkan 30 kursi di DPRD Kota Jayapura.

Inti Otonomi Khusus (Otsus) Papua sebenarnya sederhana saja: sejak Otsus Papua berlaku, harus terlihat dengan jelas adanya pemihakan, perlindungan, dan pemberdayaan hak-hak orang-orang asli Papua dalam semua bidang kehidupan dan pembangunan di Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat), termasuk dalam bidang politik. Itulah sebabnya maka ada sejumlah pasal yang secara spesifik mengatur hak-hak politik orang-orang asli Papua di dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2001.

Pertanyaan yang mendesak untuk dijawab adalah bagaimana perwujudan hak-hak politik orang asli Papua dalam Pemilihan Umum 2009 ini? Apakah ada pemihakan, perlindungan dan pemberdayaan terhadap mereka? Apakah ketentuan-ketentuan di dalam UU No. 21 Tahun 2001 sudah dipenuhi, sehingga orang-orang asli Papua benar-benar diprioritaskan dalam rekrutmen politik oleh partai-partai politik yang bertarung di Papua (Pasal 28 ayat 3), sehingga mereka bisa mengisi tambahan 25% kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Papua(Pasal 6 ayat 4)?

Agar prioritas bagi orang asli Papua sebagaimana diharuskan oleh UU No. 21/2001 terjadi, yang berwujud dalam mayoritas anggota DPRP adalah orang-orang asli Papua, maka sejumlah syarat penting berikut harus terpenuhi:

  • Jumlah orang asli Papua yang dicalonkan seluruh partai politik di Papua untuk duduk di DPRP harus mayoritas secara signifikan;
  • Mesin politik partai harus dikerahkan untuk mendukung sebanyak mungkin kader-kader Papua terbaik di masing-masing partai; dan
  • Para kader Papua terbaik di masing-masing partai harus memiliki kemampuan pendanaan yang memadai untuk menjangkau, berkomunikasi dan meyakinkan sebanyak mungkin pemilih di Papua – baik pemilih yang orang asli Papua maupun pendatang.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya kemukakan di atas, saya mengolah data sebagaimana yang tersedia dalam Daftar Calon Legislatif Tetap yang saya peroleh dari Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Papua. Langkah pertama yang saya lakukan adalah memilah-milah para caleg tetap itu ke dalam kategori orang Papua asli dan bukan Papua asli menurut nama mereka. Hasilnya adalah seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Persentase orang asli Papua dari semua partai politik yang menjadi calon anggota DPR.



Daerah Pemilihan

Papua (%)

Non Papua (%)

I (Jayapura dan Kota Jayapura)

51.7

48.3

II (Peg Bintang, Yahukimo, Boven Digoel, Keerom)

53.1

46.9

III (Mappi dan Merauke)

43.2

56.8

IV (Jayawijaya, Tolikara, Lani Jaya, Nduga, Yalimo, Mamberamo Tengah, Puncak Jaya, Puncak, Asmat)

78.04

21.96

V (Paniai, Dogiyai, Nabire, Mimika)

73.08

26.92

VI (Supiori, Biak, Mamberamo Raya, Yapen, Waropen, Sarmi)

73.84

26.16

Total

63.62

36.38

Tabel 1 menunjukkan bahwa apabila semua partai politik diperlakukan sama, yaitu dianggap memiliki kemampuan yang sama untuk menggalang dukungan pemilih, maka peluang orang asli Papua untuk menjadi anggota DPRP cukup besar, yaitu lebih dari 63 persen. Tetapi jelas anggapan seperti ini terlalu sederhana, bahkan bisa menyesatkan. Karena, seperti yang dikemukakan di atas, ada perbedaan yang cukup signifikan dalam hal kemampuan masing-masing partai politik untuk menggerakkan mesin partai memobilisasi dukungan massa pemilih untuk mendukung kader-kader orang asli Papua yang dicalonkan oleh partai mereka masing-masing. Apalagi dengan memperlakukan semua partai sama pun sudah menunjukkan bahwa pada Dapil tertentu (Dapil III) keterwakilan orang-orang asli Papua sudah minoritas. Bahkan kecenderungan seperti itu sudah mulai tampak pada Dapil I dan II.

Dengan demikian, yang lebih tepat dilakukan adalah mengasumsikan bahwa setiap partai memiliki kemampuan yang berbeda dalam menggalang massa. Partai-partai yang di tingkat nasional sering disebut-sebut sebagai partai-partai besar (Partai Golkar, Partai Demokrat, PDIP, PAN, PKS, PDS, PBR), dan/atau partai-partai yang berpeluang menjadi besar (misalnya Partai Gerindra dan Partai Hanura), jelas memiliki kemampuan yang lebih besar dalam menggalang dukungan massa pendukung. Artinya, andaikata partai-partai seperti ini memberikan keberpihakan dan pemberdayaan politik kepada orang-orang asli Papua, maka tentu peluang mereka untuk menjadi mayoritas di DPRP akan semakin besar. Tetapi apakah seperti itu yang terjadi? Ternyata secara rata-rata tidak. Tabel 2 menunjukkan hal tersebut.

Tabel 2. Persentase orang asli Papua yang menjadi calon anggota DPRP dari partai-partai besar dan partai-partai yang berpeluang menjadi besar.

Daerah Pemilihan

Papua (%)

Non Papua (%)

I

47.8

52.2

II

45.59

54.41

III

26.98

73.02

IV

67.03

32.97

V

60

40

VI

59.09

40.9

Total

52.18

47.82

Tampak dari Tabel 2 bahwa secara rata-rata, keberpihakan partai-partai besar, dan partai-partai yang berpeluang untuk menjadi besar, dalam mengakomodir hak-hak politik orang asli Papua tidak menonjol. Memang ada 5 (lima) partai yang memberikan porsi besar kepada orang-orang asli Papua, yaitu antara 63% sampai 75%. Tetapi pada saat yang sama ada 5 (lima) partai juga yang memberikan porsi sangat kecil atau kecil kepada orang asli Papua, yaitu antara 4% sampai 45.8% saja. Selain itu ada dua partai yang memberikan porsi yang lebih besar kepada orang asli Papua, tetapi dengan selisih yang tipis, yaitu antara 2-4% saja.

Keadaan ini semakin tidak menguntungkan ketika kita memasukkan faktor penting yang lain, yaitu kemampuan para caleg asli Papua untuk membiayai kampanye. Hampir dapat dipastikan bahwa kemampuan mereka untuk mengkampanyekan program-program mereka ke berbagai lokasi akan jauh lebih rendah dibandingkan para caleg non-Papua. Kemampuan keuangan mereka sangat terbatas. Apalagi ada sinyalemen bahwa terdapat kawasan-kawasan tertentu di Papua yang sangat rentan dengan money politics dan praktek jual beli suara. Sudah dapat dipastikan bahwa hanya mereka yang berduit saja yang berpeluang untuk meraup suara di kawasan-kawasan tersebut.

Semua keadaan yang disebutkan di atas ini jelas tidak kondusif untuk mewujudkan cita-cita keberpihakan, perlindungan, dan pemberdayaan orang-orang asli Papua di dalam pembangunan politik, khususnya dalam hal keterwakilan di DPRP, sebagaimana yang diatur dalam UU No. 21/2001. Bahkan, apabila hal ini benar-benar terjadi, yaitu jumlah orang asli Papua yang menjadi anggota DPRP lebih sedikit dibandingkan yang non-Papua, maka ini akan menjadi bencana politik yang pasti tidak diinginkan oleh siapa pun.

Jadi, bagaimana menyelesaikan masalah yang serius ini? Menurut saya hanya satu kompromi penyelesaian yang paling mungkin saat ini, yaitu dengan memastikan bahwa 11 (sebelas) kursi tambahan di DPRP menjadi hak eksklusif para caleg asli Papua.

Tahapan-tahapannya saya usulkan begini. Pertama, KPU Provinsi Papua menetapkan para caleg yang memiliki suara terbanyak untuk menduduki 45 kursi – jumlah sebagaimana ketentuan perundang-undangan untuk DPRD Propinsi Irian Jaya di waktu lalu, tanpa memandang apakah para caleg itu asli Papua atau tidak. Kedua, para caleg asli Papua yang tidak memperoleh kursi dari ke-45 kursi tersebut dikelompokkan dan diurutkan berdasarkan total perolehan suaranya di setiap Dapil. Ke-11 caleg asli Papua yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan oleh KPUD Provinsi Papua sebagai anggota DPRP dan mengisi ke-11 kursi tambahan itu.

Untuk mencegah masalah ini berulang di waktu mendatang, KPUD Provinsi Papua harus memastikan bahwa setiap Partai Politik yang mau mengikuti Pemilu di Papua harus konsisten dan konsekuen menerapkan Pasal 28 ayat 3 UU No. 21 Tahun 2001 yang berbunyi “Rekrutmen politik oleh partai politik di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua.” Ada dua bentuk rekrutmen politik di sini: pertama untuk duduk dalam kepengurusan partai politik, dan yang kedua untuk dicalonkan sebagai anggota legislatif. Selain itu, pihak eksekutif, DPRP dan MRP harus segera menyusun dan menetapkan produk suatu peraturan daerah khusus di Papua yang memungkinkan orang-orang asli Papua membentuk partai politiknya sendiri – sama seperti yang sekarang ini berlaku di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Mantan Ketua Sub-Tim Pengkajian, Tim Asistensi Otsus Papua, dibentuk oleh Gubernur Propinsi Irian Jaya pada tahun 2001. Tim Asistensi ini kemudian direkrut oleh Pansus RUU Otsus Papua DPR RI untuk mendukung pembahasan dengan pihak Pemerintah. Tulisan ini adalah pandangan pribadi saya. Untuk informasi lebih jauh, saya dapat dihubungi di HP.: +62811480162, atau email: agussumule@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar