SATU SETENGAH TAHUN
OTSUS PAPUA
Refleksi dan Prospek
Agus Sumule
Penerbit Yayasan ToPanG
Satu Setengah Tahun Otsus Papua
Refleksi dan Prospek
Copyright © 2003, Agus Sumule
Penerbit Yayasan ToPanG,
Jalan Cenderawasih C-65, Manokwari, Papua 98314
e-mail: topang@manokwari.wasantara.net.id
Foto sampul: Agus Sumule
Setting: Agus Sumule
Pertama kali diterbitkan dalam Bahasa Indonesia
Oleh Penerbit Yayasan ToPanG
Manokwari, 2003
Hak cipta dilindungi Undang-undang.
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh
isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
iii
KATA PENGANTAR
Selama tahun 2001, bersama-sama dengan banyak rekan,
saya terlibat dalam proses pengumpulan berbagai data dan
informasi, ikut serta dalam diskusi-diskusi, dan menyusun
berbagai dokumen, dalam rangka memperjuangkan agar
undang-undang mengenai otonomi khusus bagi Provinsi
Papua benar-benar mengakomodasi sebanyak mungkin
aspirasi masyarakat Papua. Puji Tuhan, draf Rancangan UU
Otsus Papua berhasil disusun di Papua, dibahas dan
ditetapkan oleh DPR RI dan pemerintah pusat di Jakarta, dan
efektif diberlakukan sejak 1 Januari 2002. Panggilan dan
kewajiban moral saya sekarang adalah ikut serta bersamasama
dengan pihak-pihak lain untuk memberikan saransaran,
dengan berpedoman pada undang-undang tersebut,
agar Otsus Papua bisa berhasil dilaksanakan dan membawa
kemaslahatan bagi masyarakat Papua.
Walaupun buku ini saya tulis untuk konsumsi masyarakat
luas pada umumnya (termasuk para politisi dan birokrat),
yang sudah barang tentu memiliki latar belakang yang
beragam, saya menilai bahwa buku ini juga bisa menjadi
suatu pengantar bagi para mahasiswa dan pihak-pihak lain
yang ingin memiliki pemahaman awal tentang masalahmasalah
pembangunan dan pemerintahan pada umumnya,
khususnya di Provinsi Papua, terutama dalam era Otsus.
Saya mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak
Prof. Dr. Ir. Frans Wanggai, Rektor Universitas Negeri Papua,
iv
atas pengertian dan izin beliau sehingga saya dapat
meninggalkan tugas-tugas saya di kampus dalam waktu yang
cukup lama selama tahun 2001, dan selama beberapa bulan di
tahun 2002, supaya saya bisa menyelesaikan sejumlah artikel
yang telah dan sementara dalam proses publikasi, serta
memberikan seminar tentang Otonomi Khusus Papua kepada
sejumlah masyarakat akademis dan kalangan Kedutaan Besar
Republik Indonesia di Australia. Saya juga mengucapkan
banyak terimakasih kepada Bapak Ir. Frans Wospakrik,
M.Sc., Rektor Universitas Cenderawasih, yang telah banyak
memberikan bimbingan, terutama ketika beliau memimpin
Tim Asistensi Otsus Papua.
Ucapan terima kasih yang sama saya sampaikan kepada
Bapak Gubernur dan Bapak Wakil Gubernur Provinsi Papua
yang melibatkan saya sebagai salah seorang anggota Tim
Asistensi Otsus Papua, dan memberikan dukungan sehingga
saya bisa melaksanakan tugas sebagai visiting fellow di
Australian National University, Canberra, selama kurang
lebih tiga bulan. Waktu tersebut saya gunakan untuk
menyusun sebagian dari isi buku ini.
Banyak pihak yang sudah membantu ketika saya terlibat
sebagai anggota dalam Tim Asistensi Otsus Papua. Mereka
adalah rekan-rekan sesama anggota Tim Asistensi, para dosen
di Uncen Jayapura dan Unipa Manokwari, teman-teman
pegiat LSM, rohaniwan, pejabat dan petugas pemerintah,
pengusaha dan wirausahawan, rekan-rekan wartawan di
Jayapura dan di Jakarta, lembaga-lembaga donor
internasional, dan banyak lagi yang lain. Gagasan-gagasan
yang dimasukkan dalam buku ini pun, banyak disarikan dari
v
diskusi-diskusi yang saya lakukan dengan mereka. Saya tidak
ingin berlaku tidak adil dengan lalai menyebut salah satu
nama saja. Tetapi saya yakin, semua perorangan dan lembaga
itu, ketika membaca bagian ini, pasti bisa mengetahui dan
merasakan rasa terimakasih saya yang dalam kepada mereka.
Anak-anak saya, Ruth, Rhein dan Benny Sumule, dan
istri saya Nora Lawalata Sumule, selalu dengan penuh
pengertian merelakan saya pergi meninggalkan mereka dalam
waktu yang cukup lama – terutama pada tahun 2001.
Mudah-mudahan buku ini bisa membuat mereka bangga dan
mengetahui bahwa pengorbanan mereka tidak sia-sia.
Terimakasih, Tuhan Yesus!
Kampus “Ilmu Pengetahuan untuk Kemanusiaan”
Universitas Negeri Papua, Manokwari
Minggu Kedua, Mei 2003
vi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 1
1 PENDAHULUAN 1
· Latar Belakang 1
· Refleksi Terhadap Judul 2
· Peluang untuk Menciptakan Perubahan 5
· Pentingnya Melakukan Refleksi 7
· Tujuan Penulisan 9
· Organisasi Buku 10
2 CAPAIAN POSITIF SETAHUN SETENGAH PELAKSANAAN
OTSUS
14
· Konsistensi Memperjuangkan Pemberlakuan
Otsus Secara Utuh
14
· Meningkatnya Kesadaran Rakyat tentang
Peluang Hukum untuk Memperjuangkan Hakhaknya
16
· Sikap Pro-Aktif Masyarakat Sipil Memanfaatkan
Peluang 18
· Inisiatif Penyusunan Draf Rancangan Perdasus/
Perdasi 20
3 CATATAN “LAMPU KUNING” PELAKSANAAN OTSUS
SATU SETENGAH TAHUN PERTAMA 24
· Struktur APBD yang Timpang 24
vii
· Pembagian Dana Otsus “60% dan 40%” antar
Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota
27
· Lambannya Upaya Penyusunan Peraturanperaturan
Pelaksanaan 29
4 KRITIK TERHADAP RAPBD 2002 YANG KURANG
MEMPEROLEH PERHATIAN 35
· Pendahuluan 35
· Persoalan Legal-Formal RAPBD Provinsi Papua 40
· Alokasi Pendanaan untuk Membiayai Programprogram
Prioritas 44
· Sejauh Mana RAPBD Provinsi Papua
Mencerminkan Pemihakan dan Pemberdayaan
terhadap Orang-orang Asli Papua 48
· Keterlibatan Pemerintah Kabupaten/Kota dan
Stakeholder Lainnya 49
· Apa Yang Harus Dilakukan? 53
5 MENCEGAH PELAKSANAAN OTSUS YANG MUDARAT 57
· Pendahuluan 57
· Tata Pemerintahan yang Baik 58
· Mensinergikan Pemihakan dan Pemberdayaan
Orang Asli Papua 74
· MRP yang Berdaya 80
· Pemberdayaan Masyarakat dan Kelembagaan
Adat
85
· Konsultasi Stakeholder 88
· Prioritas Pelaksanaan Pemerintahan dan
Pembangunan 90
viii
· Pengawasan 91
· Jangan Pernah Berhenti Berdialog 93
6 SOAL INPRES NOMOR 1 TAHUN 2003 99
· Status Pasal-pasal Tertentu UU No. 45/1999
menurut UU No. 21/2001 100
· Pasal 76 UU No. 21/2001 versus Keengganan
Membentuk MRP 103
· Inpres 1/2003 dan Tantangan Membangun
Kepercayaan (Trust Building) 106
· Reaksi Masyarakat Internasional 109
· Apa yang Sebaiknya Dilakukan Sekarang? 111
7 POST SCRIPTUM: BAGAIMANA PROSPEK OTSUS
PAPUA KE DEPAN?
119
Lampiran 1. Rangkuman Isu-isu Pembangunan dalam
UU No. 21 tahun 2001 Yang Perlu Dijabarkan Lebih
Lanjut dalam APBD Provinsi Papua
Lampiran 2. Keputusan Gubernur Provinsi Papua
Nomor 117 Tahun 2002 tentang Pembagian Dana
Otonomi Khusus Provinsi Papua Tahun Anggaran 2002
123
131
1
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Materi dasar buku ini diambil dari dua sumber: (1)
catatan-catatan lepas yang saya buat sebagai refleksi pribadi
terhadap pelaksanaan Otsus pada tahun 2002 sampai
beberapa bulan paruh pertama tahun 2003, dan (2) Orasi
Ilmiah yang dipaparkan pada Dies Natalis dan Wisuda
Sarjana STIE Ottow dan Geissler Jayapura pada tanggal 26
Oktober 2002 yang bertopik “Pelaksanaan dan Antisipasi
Dampak Negatif Otonomi Khusus di Provinsi Papua”.
Refleksi pribadi saya lakukan karena saya berpendapat,
bahwa evaluasi terhadap pelaksanaan Otonomi Khusus
(Otsus) Papua merupakan suatu keharusan sebagai bagian
dari upaya bersama berbagai elemen masyarakat sipil Papua
agar pelaksanaan Otsus tidak keluar dari relnya, yaitu UU No.
21 tahun 2001. Selain itu, tidak bisa dipungkiri bahwa Otsus
merupakan persoalan penting yang banyak dikritisi oleh
berbagai pihak di Papua dewasa ini – termasuk dibahas dalam
berbagai media cetak dan elektronik yang terbit di Papua.
Selain itu, ketika diminta untuk menyampaikan Orasi
Ilmiah oleh Pimpinan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE)
Ottow dan Geissler, saya juga menangkap nuansa tuntutan
masyarakat ilmiah dan kaum intelektual Papua pada
2
umumnya tentang perlunya dibangun sikap kritis-objektif
terhadap pelaksanaan Otsus Papua. Sikap kritis-objektif yang
dimaksud itu sudah barang tentu adalah dalam rangka
memastikan bahwa Otsus, baik secara konsep, kebijakan,
program maupun kegiatan, haruslah terus menerus diarahkan
untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada sang
subjek, yaitu rakyat Provinsi Papua, dan secara lebih khusus
orang-orang asli Papua. Kekritisan seperti ini sangat penting,
karena yang dipertaruhkan adalah nasib dan masa depan
sejumlah besar umat manusia ciptaan Tuhan di Tanah Papua.
Dalam kaitan itu, pada awal pemaparan dalam buku ini,
saya perlu menyampaikan penghargaan kepada STIE Ottow
dan Geissler Jayapura yang merupakan institusi pendidikan
tinggi pertama yang telah mengambil prakarsa secara formal
untuk secara kritis mengundang perdebatan tentang pelaksanaan
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Apalagi hal
tersebut dilakukan dalam Dies Natalis dan Wisuda yang
merupakan salah satu upacara ilmiah paling bergengsi dalam
perjalanan suatu perguruan tinggi. Mudah-mudahan langkah
ini merupakan awal dari suatu proses berkesinambungan
yang akan diikuti oleh berbagai institusi ilmiah dan
kelompok-kelompok masyarakat di Papua, bahkan di tempattempat
lain.
Refleksi Terhadap Judul
Kalau kita menyimak judul buku ini, kita tentu sepakat
bahwa ada dua sub-topik penting yang terkandung di
dalamnya. Yang pertama, melalui topik ini diharapkan akan
3
ada suatu penilaian objektif tentang sejauh mana Otsus Papua
telah dilaksanakan sebagaimana seharusnya, yaitu sesuai
dengan penggarisan UU No. 21/2001. Yang kedua,
diharapkan bisa diidentifikasi hal-hal yang harus dilakukan
dan dikembangkan agar prospek pelaksanaan Otsus Papua
lebih cerah dan berhasil di masa-masa mendatang.
Soal prospek ini penting untuk dibahas, karena telah
terbentuk pendapat di sementara kalangan bahwa selama
setahun ini hasil-hasil pelaksanaan Otsus masih jauh dari
harapan masyarakat. Misalnya, Mingguan JUBI dalam edisi
khususnya No. 23 tahun 04, 23 Desember 2002 – 5 Januari
2003 menulis begini di halaman depan:
“Otsus Papua Terbelenggu: Setelah setahun diberlakukan,
Otonomi Khusus belum menyentuh persoalan Papua.
Perdebatan mencolok justru soal bagi-bagi anggaran, siapa
yang bertanggung jawab mengelolanya, sampai siapa
menduduki apa. Akankah tahun kedua Otonomi Khusus
akan bernasib sama …?”.
Hal yang kurang lebih sama juga dilaporkan oleh harian
Kompas pada tanggal 13 Maret 2003 dalam artikel yang
berjudul “Pemerintah, Otsus Papua, dan Korupsi”.i Ada
pendapat bahwa “[S]elama setahun ini, pelaksanaan Otsus
baru terlihat pada munculnya puluhan mobil yang tergolong
mewah untuk mendukung pekerjaan dinas … di pemerintah
provinsi maupun kabupaten kota.” Ada juga kritik lain yang
dimuat dalam artikel yang sama, bahwa Otsus membuat “…
makin seringnya para pejabat, baik di tingkat provinsi,
4
kabupaten dan kota, melakukan perjalanan dinas ke Tanah
Jawa. Atau kalau tidak, pergi ke Manado …”. Kritik yang
lain lagi, bahwa Otsus membuat “… banyak pejabat yang
sekolah lagi. Apa memang dana otonomi khusus itu berlebih
sehingga dong juga perlu sekolah… Kenyataan itu berbeda
dengan program bebas uang sekolah yang didengungkan
pemerintah sendiri. Sebab sampai saat ini tetap saja kitorang
pu anak-anak sekolah masih bayar, sementara pegawai
pemerintah provinsi banyak yang sekolah.” Kesimpulannya?
“… otonomi khusus itu sama sekali belum dinikmati
masyarakat”.
Memang tahun 2002 adalah tahun pertama dan tahun
transisi, dan karenanya wajar apabila ada kekurangankekurangan
dalam pelaksanaan Otsus Papua. Bahkan bisa
juga terjadi sudah banyak program pembangunan yang
dilaksanakan dengan menggunakan dana Otsus, tetapi belum
dikomunikasikan dengan baik, sehingga masyarakat belum
mengetahuinya. Tetapi, setidak-tidaknya komentar
Mingguan Jubi dan artikel Kompas di atas menggarisbawahi
satu soal penting tentang adanya kekuatiran bahwa sebagian
penyelenggara pemerintahan, pembangunan dan
kemasyarakatan di Papua, baik birokrat dan politisi, masih
belum mematuhi dengan sepenuhnya prinsip-prinsip dasar
pelaksanaan Otsus. Saya berharap buku ini bisa membantu
semua pihak terkait untuk lebih memahami apa itu Otsus
Papua dan prinsip-prinsip apa saja yang terkandung di
dalamnya.
Dalam kaitan itulah dua sub-topik buku ini sesungguhnya
adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Artinya,
5
membahas Otsus Papua tidak cukup dengan sekedar
merefleksi hal-hal apa yang dilaksanakan dan hal-hal apa
yang tidak dilaksanakan. Lebih dari itu, kita juga dituntut
untuk menginventarisasi dan menyarankan faktor-faktor
kritis apa saja yang harus diperhatikan dan dilaksanakan
dengan benar, dan bagaimana faktor-faktor itu ditangani agar
Otsus sungguh-sungguh memiliki prospek yang cerah bagi
kemaslahatanii masyarakat Papua, terutama penduduk
aslinya. Itulah yang diusahakan untuk dikupas dalam buku
ini. Tetapi, sebelum itu saya akan memulai dengan
memberikan semacam pengantar singkat tentang peluang-peluang
sosial, ekonomi dan politik yang terkandung di dalam
UU No. 21/2001 untuk menciptakan perubahan mendasar di
kalangan rakyat Papua.
Peluang untuk Menciptakan Perubahan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun
2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua
telah disahkan oleh Presiden Republik Indonesia pada
tanggal 21 November 2001. Secara efektif undang-undang
tersebut mulai berlaku di Provinsi Papua pada tanggal 1
Januari 2002. Ada banyak hal mendasar yang dikandung
oleh undang-undang itu yang menjanjikan perubahan apabila
digunakan secara arif untuk menjawab pergumulan rakyat
Papua selama ini.
Berbagai hak rakyat Papua dimuat secara tegas – hak-hak
yang di waktu lalu telah diabaikan, atau bahkan sering
dihadapi dengan kekerasan apabila diperjuangkan. Ada
6
pengakuan terhadap keluhuran jatidiri orang Papua dan nilainilai
yang mereka anut. Ada pernyataan tentang jaminan
konstitusi Republik Indonesia bagi keberagaman. Ada
pengakuan tentang kekhasan orang-orang asli dan
kebudayaan Papua. Ada pengakuan bahwa pemerintahan
selama ini kurang sekali berpihak kepada rakyat Papua –
termasuk tidak memberikan penghormatan dan perlindungan
yang layak terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) orang-orang
asli Papua. Ada pengakuan bahwa hak-hak orang Papua
terhadap hasil sumberdaya alam dan pembangunan telah
diabaikan. Ada pula pengakuan terhadap keunggulan caracara
damai yang ditempuh oleh orang Papua dalam
memperjuangkan hak-haknya. Dan karena itu, ada tekad
untuk memberlakukan kebijakan khusus di Papua dengan
berpedoman pada nilai-nilai dasar kemanusiaan universal.
Disahkannya UU No. 21/2001 adalah suatu peristiwa
fenomenal. Ia fenomenal bukan karena isinya luar biasa dan
tidak dikenal sebelumnya – karena sesungguhnya isi undangundang
itu adalah pengembalian dan pengakuan terhadap
hak-hak dasar orang Papua yang selama ini diabaikan. Ia
menjadi fenomenal karena sekarang secara resmi dan legal
kedudukan dan hak-hak masyarakat Papua diakui secara
khusus dalam suatu undang-undang yang mengikat semua
pihak di Indonesia. Karenanya, tidak heran bahwa banyak
pihak berharap undang-undang ini akan membawa perubahan
ke arah kesejahteraan dan kebajikan rakyat Papua. Dan
itu adalah harapan yang wajar. Sebab, bukankah filosofi,
jiwa, semangat dan isi Undang-undang Nomor 21 tahun 2001
7
– baik pada batang tubuhnya, maupun penjelasannya,
memuat harapan-harapan itu dengan kental?
Tetapi, benarkah perubahan yang sesungguhnya, yaitu
perubahan yang membawa kemaslahatan bagi semua orang
Papua, bahkan seluruh penduduk Papua, bisa dicapai dengan
sekedar memiliki Undang-undang Nomor 21 tahun 2001?
Saya berangkat dari suatu pemahaman bahwa undangundang
adalah produk hukum – tidak lebih, tidak kurang. Ia
memuat cita-cita. Ia menampilkan ukuran-ukuran dan
patokan-patokan ideal. Sesempurna-sempurnanya suatu
undang-undang, ia hanya akan menjadi macan kertas kalau
berbagai faktor lain tidak diciptakan dan diberdayakan agar
mampu berfungsi untuk merealisasikan filosofi, jiwa,
semangat dan isi Undang-undang tersebut.
Hal yang sama juga berlaku bagi Undang-undang Nomor
21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Undang-undang ini jelas mengandung banyak potensi
kebajikan. Tetapi potensi itu tidak akan pernah berwujud
dan dinikmati dalam bentuk kebajikan yang sesungguhnya
bagi masyarakat Papua kalau sejumlah hal penting diabaikan.
Pentingnya Melakukan Refleksi
Tepatkah berbicara tentang penilaian terhadap
pelaksanaan Otsus Papua, padahal Otsus itu sendiri baru
berjalan selama setahun lebih?
Menurut hemat saya, penilaian terhadap pelaksanaan
Otsus Papua sangat penting dan harus dilakukan, sepanjang
penilaian itu diberikan secara proporsional dan objektif.
8
Analogi penilaian 100 hari pertama kinerja kepresidenan di
Amerika Serikat bisa digunakan untuk lebih memahami
mengapa penilaian awal seperti ini sangat penting.
Sejak masa kepresidenan D.K. Eisenhower pada tahun
1933, telah diinstitusikan penilaian publik terhadap prestasi
yang dicapai oleh seorang Presiden Amerika dalam masa 100
hari pertama pemerintahannya. Selama 100 hari itu publik
memantau secara ketat kepribadian, gaya memimpin, proses
pengambilan keputusan, dan pelaksanaan program-program
strategis. Apabila seorang Presiden Amerika mampu bekerja
dan memimpin secara baik, terarah, dan profesional selama
100 hari pertama, maka publik menilai ia akan mampu untuk
memimpin pemerintahannya selama sisa dari 1.460 hari atau
empat tahun yang merupakan masa jabatannya tersebutiii.
Dengan perkataan lain, 100 hari pertama pemerintahan
merupakan suatu masa kritis di mana kepercayaan rakyat
harus dapat dibangun dan diperoleh.
Satu setengah tahun Otsus Papua, yang masih
memerlukan perjalanan panjang, bisa diidentikkan dengan
100 hari suatu administrasi pemerintahan Amerika Serikat di
bawah kepemimpinan presiden yang baru. Sebagaimana
selama 100 hari itu seorang Presiden Amerika Serikat
berusaha membangun kepercayaan rakyatnya, demikian pula
satu tahun perjalanan Otsus hendaknya diupayakan untuk
membangun kepercayaan rakyat Papua terhadap Otsus itu
sendiri dan para penyelenggaranya.
Sikap kritis rakyat terhadap Otsus, dengan demikian,
haruslah dipandang sebagai bagian dari kesadaran rakyat
Papua bahwa Otsus adalah milik mereka, dan bahwa rakyat
9
ingin berperan sebesar-besarnya di dalamnya. Peranan
seperti itu hanya dapat dilakukan dengan baik apabila ada
rasa percaya terhadap pelaksanaan Otsus yang sejak awal
secara mantap telah mulai bertumbuh dan ditumbuhkan di
dalam diri masyarakat.
Tujuan Penulisan
Saya menulis buku ini setidak-tidaknya dengan dua
tujuan di dalam benak saya. Yang pertama, melalui buku ini
saya berharap akan tersedia informasi yang gampang diakses
oleh publik pada umumnya, khususnya masyarakat Papua,
tentang apa seyogyanya Otsus itu, sejauh mana prinsip-prinsip
dasar Otsus telah digunakan pada tahun 2002, dan hal-hal
apa saja yang telah dicapai dan tidak dicapai. Diterbitkannya
buku ini diharapkan akan memberikan lebih banyak
referensi kepada masyarakat untuk memahami dinamika
Otsus Papua, di samping ketersediaan informasi yang berasal
dari sumber-sumber lain – baik sumber pemerintah maupun
non pemerintah.
Kedua, saya berharap bahwa buku ini akan merangsang
berkembangnya perdebatan ilmiah di kalangan masyarakat
pada umumnya tentang hal-hal apa saja yang harus dilakukan
oleh semua pihak yang terkait dengan Otsus Papua:
pemerintah pusat, pemerintah provinsi, kabupaten/kota,
parlemen (baik di pusat maupun di provinsi Papua), lembagalembaga
swadaya masyarakat, kelompok-kelompok
masyarakat sipil, tokoh-tokoh masyarakat, dan lain
sebagainya, agar Otsus bisa benar-benar memberikan manfaat
10
sesuai cita-cita ketika ia mulai diperdebatkan di Papua.
Apabila buku ini bisa menjadi alat yang kecil untuk
mendorong rekan-rekan lain melahirkan lebih banyak
gagasan dan tulisan tentang Otsus Papua, saya beranggapan
bahwa buku ini telah mencapai tujuannya.
Organisasi Buku
Buku ini saya bagi dalam 7 bab. Dalam Bab 1 saya
menjelaskan latar belakang dan alasan-alasan penulisan buku
ini, serta manfaat-manfaat apa saja yang saya harapkan dapat
diperoleh masyarakat luas dari penerbitan buku ini.
Bab 2 dan 3 berisi hasil-hasil refleksi: hasil-hasil positif
yang telah dicapai selama tahun pertama sebagaimana
dimuat dalam Bab 2, dan catatan-catatan “lampu kuning”
saya terhadap pelaksanaan Otsus Papua tahun 2002 seperti
yang dimuat dalam Bab 3. Bab-bab ini ditulis dengan
harapan bahwa hal-hal yang baik pada tahun pertama akan
terus dipertahankan bahkan dikembangkan, dan hal-hal yang
masuh kategori “lampu kuning” perlu segera diperbaiki.
Untuk lebih memperjelas soal “lampu kuning” itu saya
memuat kembali komentar saya mengenai Rencana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Provinsi Papua
tahun 2002 yang saya tulis pada bulan-bulan awal tahun
2002. Saya menilai bahwa hal-hal yang saya kemukakan itu
masih relevan untuk diperhatikan dalam penyusunan
RAPBD-RAPBD mendatang. Pembaca dapat membaca
komentar-komentar tersebut dalam Bab 4.
11
Bab 5 berisi sejumlah gagasan untuk meningkatkan
performan dan hasil-hasil pelaksanaan Otsus Papua di tahun
2003 dan tahun-tahun mendatang. Beberapa hal strategis
dibahas dalam Bab tersebut, mulai dari perlunya menciptakan
pemerintahan yang baik (good governance) di Papua, sampai
perlunya kita selalu mengedepankan dialog sebagai cara-cara
penyelesaian masalah.
Bab 6 berisi analisis tentang akibat diterbitkannya
Instruksi Presiden (Inpres) No. 1/2003. Sejak Inpres tersebut
diterbitkan, berbagai sikap pro dan kontra telah berkembang
di kalangan masyarakat Papua. Para pemerhati Papua di
tingkat nasional dan internasional juga memberikan
perhatian yang umumnya menyayangkan kebijakan tersebut.
Di dalam bab ini saya mengemukakan pandangan saya
tentang fallacy dari sejumlah anggapan yang
melatarbelakangi penerbitan Inpres tersebut. Menurut
hemat saya, bahwa kalau yang diinginkan oleh pemerintah
pusat dari pemekaran provinsi Papua adalah semata-mata
kesejahteraan seluruh rakyat Papua, maka yang ditempuh
seharusnya adalah segera menyelesaikan Peraturan
Pemerintah mengenai pembentukan MRP, sehingga melalui
MRP dan DPRP dapat dimulai proses dialog demokratis dan
partisipatif oleh rakyat Papua sendiri mengenai pemekaran
provinsinya pada saat yang tepat di masa mendatang. Pada
bab ini juga dimuat saran kepada para tokoh masyarakat dan
pimpinan pemerintahan di Papua untuk berdialog dan
mencari jalan tengah terhadap kontroversi ini. Masih lebih
baik orang-orang Papua sendiri yang mencari jalan keluar,
12
ketimbang membiarkan orang lain menentukan apa yang
terbaik bagi orang Papua.
Bab 7 berisi kesimpulan dan himbauan. Memang ada
banyak alasan untuk bersikap kuatir dan mempersoalkan
efektivitas Otsus Papua pada masa awal penerapannya.
Bahkan Gubernur Solossa pun memberikan catatancatatannya
sendiriiv. Tetapi, yang paling penting sekarang
adalah melakukan koreksi dengan memperbaiki hal-hal yang
keliru, dan memastikan bahwa para birokrat dan pejabat yang
bertanggung jawab mewujudkan kehidupan rakyat yang
lebih baik haruslah mereka yang mampu/kapabel, jujur,
bersedia berdialog, dan bersih dari korupsi. Kita juga masih
punya waktu untuk terus berupaya memberikan pemahaman
kepada elemen-elemen tertentu di pusat tentang posisi dan
arti strategis Otsus Papua tidak saja bagi kemajuan dan
kesejahteraan masyarakat Papua dalam berbagai bidang,
tetapi juga bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Kita masih punya satu setengah tahun untuk
memperbaiki kinerja pelaksanaan Otsus Papua sebelum
evaluasi formal terhadapnya dilakukan pada awal tahun 2005.
Catatan Akhir
i Lihat juga artikel lain pada harian Kompas, `KKN Menghambat
Otonomi Khusus Papua’, Sabtu, 10 Mei 2003, yang dapat diakses di
http://www.kompas.kom/kompas-cetak/0305/10/daerah/304448.htm
ii Kemaslahatan dapat pula diartikan dengan kebaikan, kebajikan, faedah,
dan manfaat.
iii Informasi lebih jauh mengenai hal ini dapat dibaca dalam Newshour
Extra tertanggal 25 April 2001 yang berjudul `Why 100?’, yang dapat
13
diakses di http://www.pbs.org/newshour/extra/features/janjune01/
100_days.html Selain itu, untuk memperoleh gambaran yang
berimbang mengenai kritik terhadap penggunaan konsep 100 hari secara
tidak proporsional dapat dibaca pada tulisan Amando Doronilla, `100-
day Notion Irrelevant to Macapagal Presidency’, dapat diakses di
http://www.inq7.net/nat/2001/may/14/nat_6-1.htm
iv Untuk informasi lengkap, baca `Wawancara Khusus dengan Gubernur
Papua Drs. J.P. Solossa, M.Si.: Refleksi Setahun Pemerintahan Otonomi
Khusus Papua’, Jubi, No. 23, tahun 04, 03 Desember 2002 – 5 Januari
2003, halaman 12 – 13.
14
2
CAPAIAN POSITIF SETAHUN SETENGAH TAHUN
PELAKSANAAN OTSUS
Konsistensi Memperjuangkan Pemberlakuan Otsus Secara
Utuh
Selama kurang lebih satu tahun pelaksanaan Otsus Papua
ada beberapa hal positif yang saya catat. Yang pertama,
adalah semangat dan upaya serius yang ditunjukkan oleh
pimpinan daerah, dalam hal ini Gubernur dan Wakil
Gubernur, serta sejumlah pimpinan dan anggota DPR
Provinsi Papua, yang terus menerus memperjuangkan agar
Otsus dapat diterapkan secara utuh dan konsekuen.
Perjuangan duet kepimpinan eksekutif provinsi tersebut
sebenarnya telah dimulai sejak akhir tahun 2000, segera
sesudah mereka dipilih untuk memimpin provinsi Papua
(waktu itu masih resmi bernama Irian Jaya).i Dan kini,
sesudah UU No. 21/2001 disahkan, konsistensi untuk
memperjuangkan pemberlakuan Otsus secara utuh di Papua,
terutama dalam kaitannya dengan mencari jalan keluar
terhadap hambatan-hambatan di tingkat pusat, masih terlihat
dengan jelas.
Sayang sekali bahwa hingga kini masih ada pihak-pihak
yang meragukan bahwa UU No. 21/2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Papua, apabila dilakukan dengan benar,
15
utuh, konsekuen dan bertanggung jawab, justru akan
memperkukuh Negara Kesatuan Republik Indonesiaii.
Misalnya, sebagaimana dikutip harian Kompas, seorang
pejabat Depdagri menyatakan, bahwa “… rentang kendali
pusat terhadap daerah akan lebih baik dengan pemecahan
Provinsi. UU Otonomi Khusus justru bisa memberi jalan bagi
rakyat Papua untuk membentuk cikal bakal negara.”iii
Mereka mengira bahwa ada udang di balik batu, yaitu bahwa
UU No. 21/2001 akan menyebabkan terjadinya separatisme di
Provinsi Papua. Padahal UU ini disusun dan disahkan dalam
semangat reformasi, demokratisasi, dan keberagaman
sebagaimana yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar
1945, dan pembahasannya melibatkan DPR RI dan
pemerintah pusat. Artinya, kalau memang UU Otsus Papua
berpotensi menyebabkan terjadinya separatisme, berarti telah
terjadi suatu kejahatan yang sangat besar terhadap negara,
dan karenanya yang harus diperiksa terlebih dahulu adalah
para anggota DPR RI dan pejabat interdepartemental yang
terlibat dalam pembahasannya, termasuk Presiden Republik
Indonesia yang menandatangani UU tersebut.
Memang tidak mudah untuk mengubah paradigma pihakpihak
tertentu yang sudah berpola dan berurat-akar terhadap
Papua dan orang-orang Papua. Mereka ini seolah-olah tidak
percaya bahwa orang-orang Papua, yang walaupun minoritas
karena berkebudayaan Melanesia di tengah-tengah begitu
banyak suku bangsa Indonesia yang berkebudayaan Melayu,
juga bisa menjadi orang-orang Indonesia yang patriotis.
Orang-orang seperti inilah yang terus menerus melekatkan
stigma tertentu pada orang Papua dan menjadikannya sebagai
16
pembenaran untuk terus-menerus melakukan tindakantindakan
diskriminatif dan represif.
Oleh karena itu, upaya Gubernur, Wakil Gubernur, dan
sejumlah pimpinan dan anggota DPR Provinsi, yang terus
menerus tanpa lelah memperjuangkan agar semua hambatan
politis-makro terhadap pelaksanaan Otsus Papua dapat
diselesaikan merupakan langkah positif yang perlu didukung,
dan diberikan apresiasi.
Meningkatnya Kesadaran Rakyat tentang Peluang Hukum
untuk Memperjuangkan Hak-haknya
Hal kedua yang secara positif menonjol dalam
pelaksanaan Otsus selama setahun ini adalah semakin
bertumbuhnya pemahaman dan kesadaran rakyat Papua
tentang adanya ruang dan peluang hukum untuk
memperjuangkan hak-hak mereka secara damai. Walaupun
begitu, harus diakui bahwa semakin meningkatnya
pemahaman sebagaimana yang dimaksud tersebut masih
terbatas pada kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki
akses yang lebih baik ke informasi, yaitu mereka yang berada
di daerah perkotaan atau sekitar perkotaan.
Salah satu hal yang patut dicatat dalam kaitan ini adalah
keterlibatan pihak-pihak independen (terutama LSM dan
institusi keagamaan) yang secara kritis-objektif bersedia
melakukan pendidikan publik tentang UU No. 21/2001 dan
proses penyusunannya kepada rakyat Papua. Padahal,
keterlibatan mereka sebenarnya bukan tanpa resiko –
terutama resiko berkurangnya kepercayaan masyarakat
17
kepada institusi mereka apabila Otsus Papua ternyata gagal
membawa hasil sebagaimana yang diharapkan. Di
Manokwari, misalnya, LP3BH (Lembaga Penelitian,
Pengkajian, dan Pengembangan Bantuan Hukum)
Manokwari, sebuah lembaga swadaya masyarakat, bersedia
menerima penugasan dari Bupati Manokwari untuk
melakukan pendidikan publik tentang Otsus Papuaiv. Yan
Chris Warinussy, S.H. (Direktur Eksekutif) dan Ir. Sahat
Saragih (salah seorang pendiri) menandaskan bahwa adalah
kewajiban LP3BH untuk memberikan pendidikan publik
tentang produk-produk hukum yang langsung terkait dengan
kehidupan rakyat Papua. “Masih lebih baik orang Papua
menolak Otsus karena mereka mengerti isi UU No. 21/2001,
ketimbang menerima tetapi mereka sama sekali tidak
memahami hak dan kewajiban mereka sebagaimana diatur
dalam UU tersebut,” jelas mereka.
Dengan upaya-upaya seperti ini, secara bertahap
pemahaman masyarakat Papua tentang peluang-peluang
perbaikan secara mendasar melalui penerapan Otsus mulai
dapat dibangun secara komprehensif. Andaikata saja lebih
banyak pemerintah kabupaten/kota yang mengambil inisiatif,
maka tentu lebih banyak lagi masyarakat Papua yang
memahami tentang peluang-peluang hukum yang tersedia di
dalam UU No. 21/2001 untuk memperjuangkan hak-hak
mereka.
18
Sikap Pro-aktif Masyarakat Sipil Memanfaatkan Peluang
Hal ketiga, adalah sikap pro-aktif dan inisiatif yang
diambil oleh sejumlah masyarakat sipil, baik secara
perseorangan maupun dalam bentuk organisasi nonpemerintah,
untuk memanfaatkan peluang yang terkandung
dalam UU No. 21/2001 dalam rangka perlindungan hak-hak
orang-orang asli Papua pada khususnya, dan penegakan hakhak
asasi manusia pada umumnya.
Beberapa yang sempat dicatat, misalnya, inisiatif sejumlah
tokoh perempuan untuk memulai diskusi tentang
keterwakilan perempuan asli Papua dalam MRP. Salah
satunya adalah Forum Kajian Pemberdayaan Perempuan
Papua (FKP3) yang menyelenggarakan lokakarya pada
tanggal 26 dan 27 Februari 2002 – hanya dua bulan sesudah
pemberlakuan Otsus Papua secara resmi – dengan melibatkan
wakil-wakil perempuan Papua guna menjaring opini mereka
tentang keterlibatan perempuan sebagai anggota Majelis
Rakyat Papua (MRP). Walaupun hingga kini MRP masih
tidak jelas kapan dibentuk, FKP3 terus konsisten mendorong
berlangsungnya proses demokrasi untuk menghasilkan wakilwakil
perempuan Papua yang benar-benar representatif,
kapabel, dan berintegritas tinggi untuk menduduki paling
tidak sepertiga dari kursi-kursi MRP. Inisiatif seperti ini juga
sudah mulai dilakukan juga oleh sejumlah tokoh agama dan
tokoh adat, tetapi dalam skala dan intensitas yang lebih kecil
dan terbatas dibandingkan kaum perempuan Papua.
19
Selain itu, saya juga mencatat upaya penting yang
dilakukan oleh sejumlah individu dan organisasi pegiat HAM.
Misalnya, Kontras Papua, bersama-sama dengan beberapa
lembaga pegiat perlindungan HAM, telah memulai proses
penyusunan draf produk hukum yang mengatur
pembentukan Perwakilan Komisi Nasional Hak-hak Asasi
Manusia (Komnas HAM) di Papua. Pada saat buku ini
dicetak, teman-teman pegiat HAM Papua sudah melakukan
pertemuan dengan Komnas HAM di Jakarta untuk
mendiskusikan tentang struktur dan rincian tugas Perwakilan
Komnas HAM Papua.
Dalam bidang pengelolaan keuangan yang berasal dari
Otsus, Foker LSM (Forum Kerjasama Lembaga-lembaga
Swadaya Masyarakat) Papua telah menyelenggarakan suatu
lokakarya pada tanggal 26 dan 27 Maret 2002 di Jayapura
untuk membahas RAPBD 2002 yang telah dimasukkan oleh
pemerintah Provinsi ke DPR Provinsi Papua. Lokakarya itu
menyajikan banyak masukan yang bermutu dalam rangka
memperbaiki RAPBD 2002 tesebut. Foker LSM kemudian
membukukan masukan-masukan tersebut dan
menyerahkannya ke DPR Provinsi. Apakah DPR Provinsi
kemudian menggunakan masukan Foker LSM Papua ketika
membahas RAPBD 2002 yang diajukan oleh pemerintah, saya
kurang mengetahui.
Selain itu, pada akhir bulan April 2002, Pusat Penelitian
Pemberdayaan Fiskal dan Ekonomi Daerah (P3FED)
Universitas Negeri Papua menyelenggarakan sebuah
lokakarya di Biak untuk menyusun pokok-pokok pikiran
tentang pemberdayaan hak-hak masyarakat adat Papua dalam
20
eksploitasi sumberdaya alam. Hasil dari lokakarya yang melibatkan
wakil-wakil masyarakat adat, beberapa pemerintah
kabupaten dan provinsi, serta beberapa ahli kebudayaan
Melanesia ini, telah dibukukan dan diserahkan kepada
Gubernur dan Pimpinan DPR Provinsi Papua untuk
digunakan dalam penyusunan Perdasus/Perdasi mengenai
perlindungan hak-hak masyarakat adat Papua.
Inisiatif Penyusunan Draf Rancangan Perdasus/Perdasi
Hal positif keempat, adalah adanya inisiatif beberapa
instansi pemerintah – dalam batas-batas tertentu – untuk
mulai mengejawantahkan mandat UU No. 21/2001 dalam
bentuk upaya awal penyusunan draf Rancangan Peraturan
Daerah Khusus (Perdasus) atau Peraturan Daerah Provinsi
(Perdasi). Walaupun semestinya harus lebih banyak lagi draf
Rancangan Perdasus/Perdasi yang disusun oleh lebih banyak
instansi pemerintah, sepantasnyalah penghargaan diberikan
kepada instansi-instansi tertentu yang telah mulai menata
diri agar lebih mampu memberikan pelayanan kepada rakyat
Papua dalam era Otsus.
Misalnya, Dinas Pendidikan dan Pengajaran Provinsi
Papua telah mulai menyusun Draf Rancangan Peraturan
Daerah mengenai Pendidikan di Provinsi Papua. Sejauh ini
bisa disimpulkan bahwa ada kesungguhan yang ditunjukkan
oleh Dinas P dan P untuk membuka diri dan menerima
masukan berbagai pihak dalam upaya menata sistem pendidikan
di Provinsi Papua. Hal yang sama juga dilakukan
oleh Dinas Kehutanan Provinsi Papua yang melibatkan
21
sejumlah LSM untuk ikut serta membahas Draf Rancangan
Peraturan Daerah mengenai Pembangunan Kehutanan di
Provinsi Papua.
Selain itu patut dicatat upaya salah satu biro di
lingkungan Sekretariat Daerah Provinsi Papua yang
membidangi hukum dan perundang-undangan. Biro ini telah
menyiapkan paling tidak 26 buah draf rancangan peraturan
daerah. Hanya saja mutu draf-draf tersebut seyogyanya
ditingkatkan. Salah satu faktor penyebabnya adalah biro
tersebut tidak melakukan studi secara mendalam untuk
memahami dengan baik semua aspek penting yang terkait
dengan topik yang ingin diakomodasi dalam draf Rancangan
Perdasus/Perdasi tertentu. Selain itu tidak dilakukan
konsultasi secara baik dengan kelompok-kelompok
masyarakat yang nantinya menjadi subyek dari produk
hukum tersebut.
Saya mendengar bahwa draf Perdasus/Perdasi yang
disusun biro tersebut sementara dikonsultasikan dengan para
ahli untuk diperbaiki dan ditingkatkan mutunya. Mudahmudahan
tidak dilupakan, bahwa selain berkonsultasi dengan
para ahli, konsultasi dengan masyarakat pun harus dilakukan,
sebelum rancangan Perdasi/Perdasus itu diajukan ke DPR
Provinsi. Konsultasi dengan masyarakat ini akan
meminimalkan peluang suatu rancangan Perdasus ditolak,
atau suatu Perdasi diminta untuk ditinjau kembali, oleh MRP
(lihat Pasal 20 ayat 1 huruf c, dan Pasal 21 ayat 1 huruf b UU
No. 21 tahun 2001).
22
Catatan Akhir
i Saya telah menulis sebuah artikel yang akan dipublikasi oleh The
Journal of Pacific History yang berjudul “Swimming Against the Current:
The Drafting of the Special Autonomy Bill for the Province of Papua and Its
Deliberation in the Indonesia National’s Parliament”. Artikel tersebut
merangkum proses dan dinamika penyusunan RUU Otsus Papua yang
dilakukan di Papua dan bagaimana RUU itu diperjuangkan agar bisa
diadopsi oleh DPR RI sebagai Usul Inisiatif, termasuk perdebatan di
DPR RI, dan pembahasan DPR RI dengan pihak pemerintah.
Terjemahannya dapat dibaca dalam sebuah buku yang saya edit, berjudul
Mencari Jalan Tengah: Otonomi Khusus Papua, yang akan diterbitkan oleh
Penerbit Gramedia, Jakarta pada awal paruh ke-2 tahun 2003.
ii Lihat misalnya `Pusat Masih Ragu’, Cenderawasih Pos 17 Januari 2003.
Dalam artikel tersebut Ketua DPR Provinsi Papua John Ibo dikutip
menyatakan keprihatinannya karena “… belum disahkannya MRP itu
dikaitkan dengan adanya sinyalemen bahwa Provinsi Papua ingin
merdeka atau melepaskan diri dari NKRI terkait dengan isi UU Otsus
yang dinilai seakan-akan ingin membentuk negara sendiri.” Bandingkan
juga dengan komentar Mendagri Hari Sabarno seperti dikutip dari artikel
`MRP Masih Terbentur Agenda: Mendagri Bantah Halang-halangi atau
Hambat Pengesahannya’ Radar Sorong, 27 Desember 2002, hal. 1 dan 2:
“… Ketika Cenderawasih Pos (Grup Radar Sorong) menjelaskan bahwa
karena MRP tersebut belum disahkan maka jalannya Otsus pincang,
Mendagri Hari Sabarno membantah bahwa tidak benar kalau Otsus
tidak jalan hanya karena MRP belum disahkan. Karena buktinya dana
Otsus sebesar Rp 1,3 triliun diberikan oleh pemerintah pusat.”
Tanggapan John Ibo lainnya dapat dibaca dalam `Rancangan MRP
Ngendap di Depdagri: Pemda Papua telah Mengirim Draf Usulan MRP
ke Pusat, Tapi Belum Ada Realisasi. Diduga Sengaja Ditahan”, Jubi, No.
23 Tahun 04, 30 Desember 2002 – 5 Januari 2003, halaman 14.
iii Baca selengkapnya masalah ini dalam `Menelusuri Redaksi Sebuah
Instruksi’, Kompas 23 Februari 2003, dapat diakses di
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0302/fokus/142615.htm
23
iv Sayangnya inisiatif melaksanakan sosialisasi sampai ke tingkat rakyat di
distrik dan kampung baru terjadi di satu-dua kabupaten/kota saja.
Mudah-mudahan di tahun ke-2 pelaksanaan Otsus, akan lebih banyak
Bupati/Walikota yang melakukan sosialisasi dengan melibatkan pihak
independen. Harus dihindari munculnya kesan di masyarakat bahwa
pemerintah hanya lebih sibuk dengan menggunakan dana Otsus, tetapi
upaya serius untuk memberikan pendidikan publik tentang hak-hak
rakyat sebagaimana yang dijamin dalam UU No. 21/2001 justru sangat
kurang memperoleh perhatian.
24
3
CATATAN “LAMPU KUNING” PELAKSANAAN
OTSUS SATU SETENGAH TAHUN PERTAMA
Struktur APBD yang Timpang
Selain beberapa kemajuan yang telah dikemukakan dalam
Bab 2, juga dicatat hal-hal yang apabila tidak diantisipasi
sejak awal berpotensi membuat Otsus Papua bergeser dari
cita-citanya. Saya ingin membahas hal ini dengan terlebih
dahulu mencermati struktur APBD Provinsi Papua 2002. Telaah
terhadap struktur APBD merupakan pendekatan awal
yang tepat dan relatif mudah untuk menilai pelaksanaan
Otsus, karena pada akhirnya apapun program Otsus yang
ingin dilakukan haruslah tercermin dalam anggaran
pemerintah.
Pada Lampiran 1 terdapat sebuah tabel yang berisi isu-isu
pembangunan, penyelenggaraan pemerintahan dan
kemasyarakatan yang diturunkan dari setiap pasal yang
terkandung dalam UU No. 21/2001. Setiap isu pembangunan
itu masih perlu dirinci lagi menjadi program-program dan
kegiatan-kegiatan. Yang menjadi pertanyaan adalah seberapa
jauh APBD Provinsi Papua 2002 mengakomodir isu-isu
pembangunan tersebut? Sayang sekali, tidak banyak (hanya
sekitar 10 persen) yang secara spesifik dan langsung tertera
dalam APBD. Selebihnya tidak terprogramkan di tahun
2002.
25
Nampaknya birokrasi kita masih cenderung bekerja
dengan gaya business as usual – artinya masih banyak
program pembangunan pada tahun anggaran 2002 yang
cenderung sama dengan tahun-tahun sebelumnya, tetapi dengan
pengalokasian dana yang lebih besar. Hal ini berarti
pula bahwa ada ketimpangan pengalokasian dana Otsus
karena tidak disebar secara proporsional untuk menjawab
sekomprehensif mungkin kompleksitas permasalahan
pembangunan, pemerintahan, kemasyarakatan, dan
pemenuhan hak-hak dasar orang-orang Papua, terutama
masalah-masalah yang justru menjadi alasan mengapa Otsus
harus diberlakukan. Sebagian di antaranya adalah:
(1) penyelesaian pelanggaran HAM – termasuk pengalokasian
dana untuk mempersiapkan pembentukan
perwakilan Komnas HAM, Peradilan HAM dan Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi, serta kompensasi bagi para
korban pelanggaran HAM dan keluarganya;
(2) pengakuan dan pemberdayaan hak-hak masyarakat adat
– termasuknya di dalamnya penguatan dan
pengembangan kapasitas lembaga-lembaga adat;
(3) penguatan proses demokrasi pada masyarakat sipil –
termasuk pengalokasian anggaran yang memadai untuk
menunjang proses diskusi di masyarakat mengenai
proses pemilihan anggota MRP;
(4) penataan hubungan antara pemerintah provinsi dengan
pemerintah pusat terutama dalam kaitannya dengan
pelaksanaan kewenangan pemerintah pusat di Provinsi
Papua dengan kekhususan, seperti dalam bidang
26
pertahanan, keamanan, hubungan luar negeri,
keagamaan, fiskal dan moneter;
(5) pembukaan desk Pemerintah Provinsi Papua di
Kedutaan-kedutaan Besar Republik Indonesia terutama
di negara-negara yang memiliki kemiripan kebudayaan
dengan Papua seperti negara-negara di Pasifik Selatan,
serta di negara-negara maju yang berpotensi
memberikan manfaat sosial dan ekonomi kepada Papua;
(6) penataan tugas-tugas Kepolisian Republik Indonesia di
Provinsi Papua – termasuk di dalamnya penataan
kurikulum pendidikan kepolisian di Papua, dan
rekrutmen orang-orang asli Papua untuk menjadi
perwira Kepolisian Republik Indonesia di Provinsi
Papua;
(7) rekrutmen dan pengembangan kapasitas orang-orang asli
Papua untuk menduduki profesi hakim dan jaksa;
(8) pengembangan kewirausahaan yang secara spesifik
menargetkan orang-orang asli Papua untuk menjadi
pengusaha-pengusaha handal;
(9) penelitian dan pengembangan peraturan-peraturan
daerah strategis secara partisipatif, seperti peraturan
daerah mengenai pengelolaan kependudukan dan
pembatasan migrasi masuk, peraturan daerah mengenai
penyelenggaraan pembangunan kesehatan dan gizi yang
bermutu dan merata, peraturan daerah mengenai perlindungan
dan pemberdayaan hak-hak masyarakat adat
dalam eksploitasi sumberdaya alam, peraturan daerah
mengenai pengolahan lanjutan sumberdaya alam di
Provinsi Papua, peraturan daerah mengenai
27
perlindungan lingkungan hidup dan pembangunan yang
berkelanjutan, dan sebagainya;
(10) penyelenggaraan Sensus Penduduk Provinsi Papua yang
secara khusus diarahkan untuk mengumpulkan berbagai
karakteristik sosial-ekonomi dan kebudayaan khas
Papua untuk perencanaan pembangunan yang lebih
sesuai dengan keadaan masyarakat;
(11) pembatasan migrasi masuk sebagai bagian dari
kewajiban pengelolaan pertumbuhan penduduk yang
harus dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi atas dasar
kebijakan afirmatif bagi orang-orang asli Papua;
(12) dan masih banyak yang lain.
Pembagian Dana Otsus “60% dan 40%” antar Pemerintah
Provinsi dan Kabupaten/Kota
Dalam kaitannya dengan APBD 2002, hal lain yang perlu
dicermati adalah pengalokasian Dana Otonomi Khusus
dengan proporsi 60% dikelola Pemerintah Provinsi dan 40%
dikelola Pemerintah Kabupaten, yang diatur dalam
Keputusan Gubernur Provinsi Papua Nomor 900/2697/SET
tentang Petunjuk Pengelolaan Dana Otonomi Khusus
Provinsi Papua Tahun Anggaran 2002 (Lampiran 2).
Tampaknya ada pemahaman di kalangan pemerintahan
sejumlah kabupaten/kota, dan bahkan anggota DPR Provinsi
Papua, bahwa dana Otsus pun harus dibagi-bagi seperti pembagian
dana pembangunan antara Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana yang diatur dalam
UU No. 25/1999.
28
Pemahaman seperti ini jelas keliru, karena yang
seharusnya dilakukan, sebagaimana yang terkandung dalam
bagian penjelasan UU No. 21/2001, adalah melakukan
konsultasi para pihak (konsultasi stakeholder). Seharusnya,
instansi teknis Pemerintah Provinsi melakukan konsultasi
dan koordinasi dengan instansi teknis tingkat
Kabupaten/Kota, ditambah dengan berbagai unsur
masyarakat profesi, lembaga swadaya masyarakat, wakil
rakyat, dan sebagainya. Kemudian para stakeholder tersebut
bersama-sama menetapkan bidang-bidang apa saja yang
karena sifatnya, dan karena adanya faktor-faktor kritis
tertentu, akan lebih efektif dan efisien dilaksanakan oleh
pemerintah Provinsi. Dengan menggunakan cara yang sama,
perlu ditetapkan bidang-bidang apa yang justru lebih efektif
dan efisien apabila dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten/
Kota. Bahkan, pemerintah pun harus menyerahkan
tanggung jawab pelaksanaan program-program pembangunan
tertentu kepada masyarakat profesi, LSM, atau langsung
kepada kelompok-kelompok masyarakat, kalau memang
mereka ternyata lebih mampu dan lebih efektif dan efisien
menjalankan program-program pembangunan tersebut
dibanding apabila dilakukan oleh birokrasi.
Oleh karena itu, diharapkan bahwa pengalokasian APBD
2003 Provinsi Papua tidak lagi menggunakan persentase.
Membagi-bagi uang rakyat seperti itu jelas tidak sesuai
dengan isi, jiwa dan semangat UU No. 21/2001. Selain itu,
akan sulit dipantau dan dikontrol apakah dana yang dibagibagi
seperti itu benar-benar digunakan untuk mewujudkan
29
isi Otsus, atau digunakan untuk keperluan lain yang sama
sekali tidak ada kaitannya dengan Otsus Papua.
Lambannya Upaya Penyusunan Peraturan-peraturan
Pelaksanaan
Tabel 1 dan 2 memberikan gambaran tentang besarnya
tantangan yang dihadapi untuk mengejawantahkan UU No.
21/2001 dalam bentuk peraturan-peraturan pelaksanaannya.
Padahal yang dimuat dalam kedua tabel itu hanyalah aspekaspek
yang secara eksplisit diwajibkan oleh UU No. 21/2001
untuk dioperasionalkan dalam bentuk Perdasus atau Perdasi.
Masih banyak aspek lain yang secara tersirat termaktub
dalam UU tersebut yang membutuhkan Perdasus/Perdasi
tertentu.
Tabel 1. Topik-topik Perdasus yang secara eksplisit tertera
dalam UU No. 21/2001
Referensi Topik
Pasal 2 Perdasus mengenai Lambang Daerah Provinsi
Papua dalam bentuk Bendera dan Lagu Daerah
Pasal 4 ayat 3 Perdasus mengenai kewenangan-kewenangan
khusus Provinsi Papua dalam rangka
pelaksanaan Otonomi Khusus
Pasal 4 ayat 4
dan 5
Perdasus mengenai kewenangan-kewenangan
khusus Kabupaten dan Kota di Provinsi Papua
dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus
Pasal 4 ayat 9 Perdasus mengenai tatacara pemberian
30
pertimbangan Gubernur mengenai perjanjian
internasional yang dibuat oleh Pemerintah
yang hanya terkait dengan kepentingan
Provinsi Papua
Pasal 11 ayat 3 Perdasus mengenai tatacara pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur
Pasal 19 ayat 3 Perdasus mengenai keanggotaan dan jumlah
anggota MRP
Pasal 20 ayat 2 Perdasus mengenai tugas dan wewenang MRP
Pasal 21 ayat 2 Perdasus mengenai hak MRP
Pasal 23 ayat 2 Perdasus mengenai kewajiban MRP
Pasal 34 ayat 7 Perdasus mengenai pembagian lebih lanjut
secara adil dan berimbang penerimaan dalam
rangka Otonomi Khusus antara Provinsi dan
Kabupaten/Kota dengan memberikan
perhatian bagi daerah-daerah tertinggal, yaitu
yang berasal dari:
a. bagi hasil sumber daya alam, pertambangan
minyak bumi dan pertambangan gas alam,
serta
b. penerimaan khusus dalam rangka
pelaksanaan Otonomi Khusus yang
besarnya setara dengan 2% (dua persen)
dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional,
yang terutama ditujukan untuk
pembiayaan pendidikan dan kesehatan,
antara Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Pasal 38 Perdasus mengenai pemanfaatan sumberdaya
alam di Provinsi Papua
Pasal 66 Perdasus mengenai pemberian perhatian dan
penanganan khusus bagi pengembangan suku31
suku yang terisolasi, terpencil, dan terabaikan
di Provinsi Papua.
Pasal 67 Perdasus mengenai pengawasan sosial
(Catatan: Perdasus adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam
rangka pelaksanaan pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang in
No. 21/2001)
Tabel 2. Topik-topik Perdasi yang secara eksplisit tertera
dalam UU No. 21/2001
Referensi Topik
Pasal 24 ayat 2 Perdasi mengenai Tata Cara Pemilihan MRP
Pasal 26 ayat 3 Perdasi mengenai Perangkat Provinsi Papua
Pasal 27 ayat 3 Perdasi mengenai Pengaturan Kebijakan
Kepegawaian di Provinsi Papua
Pasal 29 ayat 3 Perdasi mengenai tata cara pemberian
pertimbangan dan persetujuan MRP terhadap
Perdasus
Pasal 32 ayat 2 Perdasi mengenai fungsi, tugas, wewenang,
bentuk dan susunan keanggotaanKomisi Hukum
Ad Hoc
Pasal 35 ayat 6 Perdasi mengenai ketentuan pelaksanaan
bantuan luar negeri
Pasal 36 ayat 1 Perdasi mengenai perubahan dan perhitungan
APBD
Pasal 36 ayat 3 Perdasi mengenai tata cara penyusunan dan
pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Provinsi, perubahan dan perhitungannya serta
pertanggungjawaban dan pengawasannya.
32
(Catatan: Perdasi adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam
rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan)
Sesudah lebih dari setahun pelaksanaan Otsus Papua,
belum satupun Rancangan Perdasus maupun Perdasi yang
rampung disusun, baik oleh Pemerintah Provinsi, maupun
oleh DPRP dengan menggunakan hak usul inisiatif yang
dimilikinya. Padahal pasal 75 UU No. 21/2001 menegaskan
bahwa “Peraturan pelaksanaan yang dimaksud Undang-
Undang Otonomi Khusus ini ditetapkan paling lambat 2 (dua)
tahun sejak diundangkan”. Ketika buku ini dirampungkan,
kita sudah lebih dari lima bulan melewati ulang tahun
pertama UU No.21/2001 diundangkan. Sulit dibayangkan
bahwa semua Rancangan Perdasus dan Perdasi yang diperlukan
itu bisa disusun dalam waktu yang sangat pendek
(kurang dari tujuh bulan), kecuali gaya dan ritme kerja serta
pembagian tanggung jawab diubah total.
Lamban dan lambatnya penyusunan peraturan-peraturan
pelaksanaan UU No. 21/2001 juga sekaligus menunjukkan
bahwa sesungguhnya kita sementara menyia-nyiakan kesempatan
dan peluang untuk merancang sendiri hampir semua
aspek pembangunan, pemerintahan dan kemasyarakatan agar
sedapat mungkin sesuai dengan kekhasan sosial-budaya,
politik dan ekonomi di Papua. Salah satu keunikan UU No.
21/2001 adalah bahwa peraturan pelaksanaannya cukup
dalam bentuk Peraturan Daerah, baik Perdasus maupun
Perdasi, dan tidak membutuhkan Peraturan Pemerintah
33
Pusat sebagaimana undang-undang yang draf-nya pun harus
dimasukkan dari Papua.
Adakah cara untuk mempercepat proses penyusunan
Perdasus/Perdasi tetapi dengan mutu yang memadai?
Semestinya kita bisa bercermin pada proses penyusunan draf
Rancangan UU Otonomi Khusus yang disusun di Papua pada
awal tahun 2001, yang lengkapnya disebut Rancangan Undang-
undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Dalam
Bentuk Wilayah Berpemerintahan Sendiri. Draf RUU
tersebut bisa rampung dalam waktu kurang dari 3 bulan,
termasuk dokumen-dokumen akademiknya. Hal itu bisa
dicapai bukan semata-mata karena RUU itu dikerjakan oleh
masyarakat akademis dan sejumlah intelektual Provinsi
Papua. Yang membuat RUU itu bisa rampung dalam waktu
singkat dengan kualitas yang dipuji banyak pihak adalah
karena penyusunannya tidak semata-mata menjadi urusan
kaum birokrasi dan politisi, tetapi urusan seluruh rakyat
Papua, siapa pun dia.
Semestinya, semangat bekerjasama dengan seluruh
elemen masyarakat Papua seperti ini harus terus
ditumbuhkembangkan oleh instansi-instansi pemerintah dan
DPR Provinsi Papua supaya Rancangan Perdasus dan Perdasi
bisa segera dirampungkan dalam waktu yang tidak terlalu
lama, dan dengan mutu dan representasi yang tinggi karena
melibatkan seluruh elemen masyarakat Papua. Tetapi kalau
kerjasama seperti ini tidak dilakukan, maka saya pesimis
berbagai Perdasus/Perdasi akan rampung disusun. Dan,
izinkan saya untuk mengingatkan bahwa akibatnya bisa fatal
34
bagi kesinambungan pemberlakuan UU No. 21/2001 di
tahun-tahun mendatang.
35
4
KRITIK TERHADAP RAPBD 2002
YANG KURANG MEMPEROLEH PERHATIAN
(Catatan pengantar: Tulisan pada bab ini pernah saya presentasikan
dalam bentuk sebuah makalah yang berjudul “Tinjauan Kritis
Terhadap RABPD 2002 Berdasarkan UU No. 21/2001” dalam
sebuah lokakarya yang diselenggarakan Foker LSM Papua pada
tanggal 26 dan 27 Maret 2002. Makalah itu kemudian diterbitkan
bersambung oleh mingguan JUBI beberapa waktu kemudian. Saya
memuatnya kembali dalam buku ini, karena saya menilai bahwa
tulisan ini memiliki banyak hal yang masih relevan untuk
diperhatikan dalam pembahasan dan penetapan anggaran
pembangunan di Provinsi Papua di waktu mendatang).
Pendahuluan
Pada tanggal 22 Oktober 2001, DPR RI menetapkan
Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Otonomi Khusus
bagi Provinsi Papua. RUU tersebut kemudian disahkan
sebagai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun
2001 pada tanggal 21 November 2001. Secara efektif UU
tersebut mulai berlaku di Provinsi Papua pada tanggal 1
Januari 2002.
Pada tanggal 21 Januari 2002, Gubernur Provinsi Papua
menyampaikan Sambutan dan Pengarahan kepada para
pejabat tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota se Provinsi
36
Papua dalam acara Sosialisasi Undang-undang Nomor 21
tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Dalam kesempatan tersebut, Gubernur menyampaikan lima
kata kunci yang merupakan faktor-faktor penentu keberhasilan
pelaksanaan Undang-undang Nomor 21 tahun 2001.
Kelima kata kunci itu adalah:
(1) Keberpihakan kepada orang-orang asli Papua – yaitu
bahwa semua program pembangunan yang direncanakan
dan dilaksanakan dalam era Otsus Papua harus memberi
manfaat langsung bagi orang-orang asli Papua sampai di
tempat-tempat yang terpencil;
(2) Pemberdayaan orang-orang asli Papua – yaitu bahwa
keberpihakan harus dilakukan berbarengan dengan
pemberdayaan sedemikian rupa sehingga dalam waktu
yang tidak terlalu lama orang-orang asli Papua akan
berperan dan berprestasi sama dengan semua penduduk
yang di Republik Indonesia;
(3) Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih di
semua tingkatan pemerintahan di Provinsi Papua – yaitu
bahwa Otonomi Khusus hanya akan memberikan
manfaat apabila semua aparat pemerintahan (eksekutif
dan legislatif) bekerja secara jujur, profesional,
transparan dan demokratis;
(4) Partisipasi – yaitu bahwa semua pihak yang berkompeten,
termasuk unsur-unsur masyarakat, perlu
terlibat secara proporsional dan demokratis dalam semua
tingkatan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.
Secara khusus, Gubernur telah meminta para Kepala
Dinas dan Instansi Teknis Provinsi untuk secara
37
partisipatif melibatkan dinas/instansi teknis di tingkat
Kabupaten/Kota dalam perencanaan dan pelaksanaan
berbagai aspek pembangunan dan pemerintahan
sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang
Nomor 21 tahun 2001. Yang tidak kalah pentingnya
adalah keterlibatan unsur-unsur masyarakat seperti para
tokoh masyarakat, tokoh-tokoh adat, perempuan,
pemuda, mahasiswa, agama, pegiat LSM, kelompokkelompok
profesi, bahkan berbagai kelompok yang ada
di masyarakat, dalam perencanaan dan pelaksanaan
tersebut.
(5) Pengawasan – yaitu bahwa pengawasan hukum, politik
dan sosial perlu sungguh-sungguh diberlakukan sebagai
bagian yang integral dalam penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan kita. Gubernur menegaskan
bahwa harus dihindari sejauh mungkin kemungkinan
terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme, bahkan semua
bentuk inefisiensi pembangunan lainnya dalam pelaksanaan
pembangunan di Provinsi Papua.
Sebagai salah satu langkah strategis pelaksanaan Otonomi
Khusus Provinsi Papua, Pemerintah Provinsi Papua telah
memasukkan Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja
Daerah (RAPBD) Provinsi Papua tahun 2002 ke Dewan
Perwakilan Rakyat Provinsi Papua. Salah satu tujuan yang
ingin dicapai dari RAPBD tersebut sudah barang tentu adalah
bagaimana mencapai kesejahteraan masyarakat Provinsi
Papua dengan menggunakan UU No. 21 tahun 2001 sebagai
dasar hukum, dengan menggunakan isi Sambutan dan
Pengarahan Gubernur Provinsi Papua pada tanggal 21 Januari
38
2001 -- yang sebagian di antaranya telah dikemukakan di atas
– sebagai salah satu pedoman penyusunan RAPBD 2002
tersebut.
Tim Asistensi Otonomi (Otsus) Khusus Provinsi Papua,
yang terdiri dari sejumlah intelektual Papua, telah bekerja
secara intensif selama tahun 2001 untuk mendukung Rakyat
dan Pemerintah Provinsi Papua dan Dewan Perwakilan
(DPR) Republik Indonesia dalam penyusunan dan
pembahasan RUU Otsus Provinsi Papua. Walaupun Tim ini
resmi tidak lagi eksis karena tugas-tugas yang diemban telah
dirampungkan, sebagai salah satu mantan anggota Tim tersebut,
saya merasa memiliki kewajiban moral untuk
memberikan tinjauan kritis mengenai RAPBD Provinsi Papua
tahun 2002.
Saya telah mempelajari dengan sungguh-sungguh, dan
berusaha seobjektif mungkin, menilai isi RAPBD tersebut.
Saya berpendapat bahwa apabila tidak dilakukan perubahan
maka cita-cita pemberlakuan Otsus di Provinsi Papua tidak
akan dicapai. Bahkan RAPBD tersebut berpotensi menjadi
sumber instabilitas dan konflik – baik konflik horizontal
(antararakyat atau antardaerah kabupaten/kota) maupun
vertikal (antara rakyat dengan pemerintah, maupun antar
pemerintah kabupaten/kota dengan pemerintah provinsi).
Hal ini dapat dibuktikan dengan telah munculnya berbagai
reaksi negatif dari kalangan sementara partai politik,
pemerintah kabupaten/kota tertentu, mahasiswa, lembagalembaga
swadaya masyarakat, dan masyarakat pada
umumnya.
39
Kondisi di atas sudah barang tentu sangat tidak kondusif
bagi upaya kita bersama untuk mensosialisasikan Undangundang
Nomor 21 tahun 2001 kepada berbagai komponen
rakyat Papua. Bahkan, apabila keadaan ini terus berlangsung,
maka saya dan semua rekan mantan anggota Tim Asistensi
akan diposisikan pada posisi yang sulit untuk terus terlibat
dalam kegiatan-kegiatan sosialisasi di masa mendatang.
Bahkan, bukan tidak mungkin RAPBD yang kurang
mengakomodir isi Undang-undang Nomor 21 tahun 2001
tersebut akan semakin memberikan `legitimasi’ bagi pihakpihak
tertentu untuk menolak pemberlakuan Otonomi
Khusus di Provinsi Papua.
Sudah barang tentu semua pihak setuju, bahwa refleksi
kemampuan UU No. 21 tahun 2001 untuk memberdayakan
masyarakat Papua adalah pada APBD. Dengan demikian,
penting bagi RAPBD yang ada sekarang ini benar-benar
memuat amanat UU No. 21 tahun 2001 tersebut.
Tulisan ini memuat tinjauan kritis saya terhadap isi
RAPBD. Ada beberapa hal yang menjadi sorotan, yaitu: (1)
aspek-aspek legal-formal RAPBD tersebut; (2) aspek-aspek
yang seharusnya menjadi prioritas program pembangunan
dalam RAPBD tersebut; (3) aspek-aspek keberpihakan kepada
orang asli Papua, pemerataan serta pemberian prioritas
kepada daerah-daerah tertinggal di Provinsi Papua; dan (4)
masalah inkonsistensi dan duplikasi dalam program/proyek
sebagaimana yang dicantumkan dalam RAPBD.
Pada bagian akhir ini saya akan menyampaikan sejumlah
saran untuk perbaikan RAPBD 2002 tersebut.
40
Persoalan Legal-Formal RAPBD Provinsi Papua
Pasal 34 ayat 7 UU No. 21/2001 menyatakan bahwa
“… Pembagian lebih lanjut penerimaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b
angka 4) dan angka 5), dan huruf e antara Provinsi
Papua, Kabupaten, Kota atau nama lain diatur
secara adil dan berimbang dengan Perdasus,
dengan memberikan perhatian khusus pada
daerah-daerah yang tertinggal …”.
Yang dimaksud dalam kutipan tersebut sebagai ayat (3) huruf
b angka 4) dan angka 5) adalah penerimaan yang berasal dari
bagi hasil sumberdaya alam minyak bumi sebesar 70 persen
dan gas bumi 70 persen. Di samping itu, yang dimaksud
dengan huruf e Pasal 34 ayat 7 UU No. 21/2001 adalah
“…Penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan
Otonomi Khusus yang besarnya setara dengan 2%
(dua persen) dari plafon Dana Alokasi Umum
Nasional, yang terutama ditujukan untuk
pembiayaan pendidikan dan kesehatan …”
Ada tiga kata kunci (syarat) yang tidak bisa diabaikan dari
kutipan Pasal 34 ayat 7 UU No. 21/2001. Pertama, sumbersumber
dana tersebut harus dibagi antar Provinsi Papua,
Kabupaten dan Kota. Kedua, pembagian tersebut haruslah
diatur secara adil dan berimbang dengan memberikan
41
perhatian khusus kepada daerah-daerah yang tertinggal.
Ketiga, Pengaturan secara adil dan berimbang itu haruslah
dalam bentuk Peraturan Daerah Khusus (Perdasus).
Hal yang disebutkan di atas inilah yang merupakan salah
satu persoalan legal-fomal serius karena tidak dipenuhi dalam
penyusunan RAPBD Provinsi Papua tahun 2002. Undangundang
Nomor 21 tahun 2001 menegaskan bahwa Rancangan
Perdasus disusun oleh Eksekutif dan Legislatif, namun
sebelum dapat dilaksanakan perlu memperoleh persetujuan
terlebih dahulu dari Majelis Rakyat Papua (MRP). Hingga
saat ini MRP belum terbentuk, dan karenanya Perdasus
untuk pemanfaatan sumber dana sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 34 ayat 7 belum dapat ditetapkan oleh DPRP dan
Eksekutif. Dengan demikian, pembahasan yang dilakukan
oleh Pemerintah Provinsi dan DPRP mengenai pemanfaatan
sumberdana yang berasal dari pendanaan dalam rangka Otsus
hanya dapat diartikan sebagai persiapan dan pemantapan
rancangan, yang masih harus memperoleh persetujuan dari
MRP sebelum dapat digunakan. Apabila keseluruhan atau
bagian-bagian dari pemanfaatan sumber dana Otsus tersebut
tidak disetujui oleh MRP, maka sudah barang tentu RAPBD
perlu diperbaiki kembali.
Saya merasa penting untuk menegaskan hal ini, karena
diperoleh kesan yang sangat kuat bahwa pembahasan RAPBD
yang sekarang ini berlangsung di DPRP bukanlah suatu
kegiatan yang dilakukan secara paralel sambil menunggu
terbentuknya MRP. Setidak-tidaknya format RAPBD
tersebut, baik untuk Anggaran Rutin maupun Anggaran
Pembangunan, tidak menunjukkan hal tersebut. Kalau
42
pembahasan itu dilanjutkan dengan pengesahan oleh DPRP,
maka itu berarti bahwa Undang-undang Nomor 21 tahun
2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua telah
dilanggar oleh Pemerintah dan DPR Provinsi Papua sendiri.
Selain itu, hasil pemantauan saya menunjukkan, bahwa
pembahasan dalam rangka menghasilkan RAPBD ini tidak
melibatkan berbagai stakeholder yang seharusnya
diikutsertakan dalam rangka menghasilkan suatu RAPBD
yang adil dan berimbang, dengan memberikan perhatian
pada daerah-daerah terpencil. RAPBD yang adil dan
berimbang tentu tidak mungkin dapat disusun oleh instansi
teknis Provinsi semata-mata. Pemerintah dan Parlemen
Provinsi perlu melibatkan pemerintah dan parlemen
Kabupaten/Kota dan berbagai unsur masyarakat yang
berkompeten, karena mereka yang sesungguhnya memahami
dengan lebih baik apa yang menjadi kebutuhan masyarakat
Papua.
Hal lain yang tidak kalah pentingya adalah tidak
dimasukkannya Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001
dalam konsideran RAPBD. Walaupun mungkin ada pihak
yang berkilah bahwa hal tersebut `terlupakan’, tetapi hal ini
sebenarnya berimplikasi bahwa sebenarnya masih ada
keengganan untuk mendalami dengan sungguh-sungguh isi
dan amanat Undang-undang Nomor 21 tahun 2001. Secara
legal formal, kealpaan ini adalah suatu persoalan yang serius
– karena dengan demikian patut dipertanyakan apa dasar
hukum yang digunakan oleh pihak Eksekutif untuk
memanfaatkan dana yang berasal dari pendanaan Otsus
Papua?
43
Hal yang terakhir adalah sebutan sumber-sumber
keuangan yang digunakan dalam RAPBD. Seyogyanya semua
sumber pendanaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 34
Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 disebutkan dalam
RAPBD Provinsi Papua tahun 2002. Dengan demikian,
rakyat Papua dapat mengetahui dengan jelas seberapa besar
kontribusi masing-masing sumber tersebut terhadap RAPBD
tahun 2002. Tetapi, hal ini tidak dilakukan. Bahkan, DAK
(Dana Alokasi Khusus) sebagaimana yang dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 dicampuradukkan
dengan sumber dana Penerimaan Khusus dalam rangka
Otonomi Khusus sebagaimana yang disebut dalam Pasal 34
ayat 3 huruf e Undang-undang tersebut.
Hal yang disebutkan di atas tersebut memiliki implikasi
legal-formal yang mendasar. Pertama, dengan mencampur
aduk keduanya, DAK kehilangan arti yang sebenarnya dalam
RAPBD kita. Pengertian DAK sebagaimana yang terdapat
dalam Pasal 34 ayat 3 huruf f UU Nomor 21 tahun 2001
sesungguhnya secara mendasar telah berubah dibandingkan
Undang-undang Nomor 25 tahun 1999. DAK pada Undangundang
Nomor 25 tersebut tidak mencantumkan kata-kata
“…dengan memberikan prioritas kepada Provinsi Papua …”
sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 34 ayat 3 huruf f UU
Nomor 21 tahun 2001. Artinya, DAK dalam era Otsus
sekarang nilainya harus lebih besar dari DAK yang
dialokasikan menurut Undang-undang Nomor 25 tahun 1999
pada tahun anggaran 2001 lalu. Sayangnya, DAK yang
`lebih’ seperti ini tidak ditaksir jumlahnya dan tidak
44
dimasukkan dalam RAPBD Provinsi Papua tahun 2002 – dan
hanya disebut dengan simbol “u.p.”.
Kedua, sebutan “DAK-Otsus” sebagaimana yang
tercantum dalam hampir semua mata anggaran
Pembangunan RAPBD Provinsi Papua tahun 2002 tidak
memiliki dasar hukum. Undang-undang Nomor 21 tahun
2001 sama sekali tidak mengenal istilah DAK-Otsus. Kalau
ditinjau dari jumlah anggarannya maka tampaknya yang
dimaksud dengan DAK-Otsus dalam RAPBD adalah
Penerimaan Khusus dalam rangka Otonomi Khusus yang
penggunaannya tidak bisa diatur sebagaimana penggunaan
DAK di waktu lalu.
Alokasi Pendanaan untuk Membiayai Program-program
Prioritas
Pasal 34 ayat ayat 3 huruf e Undang-undang Nomor 21
tahun 2001 menegaskan seperti berikut ini:
Penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan
Otonomi Khusus yang besarnya setara dengan 2%
(dua persen) dari plafon Dana Alokasi Umum
Nasional, yang terutama ditujukan untuk
pembiayaan pendidikan dan kesehatan (garis
bawah untuk penekanan oleh saya).
Kutipan di atas menegaskan bahwa pendidikan dan kesehatan
harus menjadi yang terutama dalam penggunaan dana yang
diperoleh untuk keperluan pelaksanaan Otsus di Provinsi
45
Papua. Tetapi hal tersebut tidak tercermin dalam RAPBD
Provinsi Papua sebagaimana yang terlihat dari Tabel 3.
Tabel 3. Alokasi Anggaran Pembangunan untuk setiap Sektor
sebagaimana yang tercantum dalam RAPBD
Provinsi Papua tahun 2002
Sektor
Alokasi
(Rp)
Persentase
(%)
a. Industri 730.000.000 0,06
b. Pertanian dan Kehutanan 123.785.649.200 10,13
c. Sumberdaya Air dan Irigasi 41.000.000.000 3,36
d. Tenaga Kerja 7.800.000.000 0,64
e. Perdagangan, Pengembangan
Usaha Daerah, Keuangan
Daerah dan Koperasi 32.480.000.000 2,66
f. Transportasi 262.495.000.000 21,49
g. Pertambangan dan Energi 24.000.000.000 1,96
h. Pariwisata dan Telekomunikasi
Daerah 4.950.000.000 0,41
I. Pembangunan Daerah dan
Pemukiman 33.805.000.000 2,77
j. Lingkungan Hidup dan
Tataruang 7.700.000.000 0,63
k. Pendidikan, Kebudayaan
Nasional, Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, Pemuda dan Olahraga 230.385.033.000 18,86
l. Kependudukan dan Keluarga
Sejahtera - -
46
m. Kesehatan, Kessos, Wanita,
Anak dan Remaja 189.800.000.000 15,54
n. Perumahan dan Permukiman 9.254.200.000 0,76
o. Agama 5.419.000.000 0,44
p. Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi 39.588.987.000 3,24
q. Hukum 5.000.000.000 0,41
r. Aparatur Pemerintah dan
Pengawasan 155.779.319.055 12,75
s. Politik, Penerangan,
Komunikasi, Media Massa 12.600.000.000 1,03
t. Keamanan dan Ketertiban
Umum 2.160.000.000 0,18
u. Bantuan Pembangunan
Daerah Bawahan 32.785.000.000 2,68
Jumlah 1.221.517.188.255 100
Pada Tabel 3 terlihat bahwa yang memperoleh alokasi
terbesar adalah sektor Transportasi, yaitu mencapai 21.49
persen. Sub-Sektor Pendidikan hanya memperoleh dana
sebesar 15,07 persen – sesudah dikurangi sub-sub sektor
Kebudayaan Nasional, Kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, Pemuda dan Olahraga. Demikian pula Sub-Sektor
Kesehatan hanya memperoleh 14,5 persen – sesudah
dikurangi sub-sub sektor kesejahteraan sosial, wanita, anak
dan remaja. Hal ini bertentangan dengan isi Pasal 34 ayat
ayat 3 huruf e Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 yang
47
mengatakan bahwa pembiayaan pendidikan dan kesehatan
harus memperoleh prioritas.
Yang juga terlihat tidak proporsional pada Tabel 3 adalah
alokasi anggaran untuk sektor industri yang hanya sebesar
0,06 persen. Hal ini tidak mencerminkan semangat Undangundang
Nomor 21 tahun 2001 yang menginginkan adanya
perubahan mendasar dalam struktur perekonomian Provinsi
Papua, dari sekedar suatu kawasan penghasil bahan baku
yang berasal dari eksploitasi sumberdaya alam (SDA) menjadi
suatu kawasan yang ekonominya berbasis industri dari
pengolahan lanjutan kegiatan-kegiatan eksploitasi SDA
tersebut (baca Pasal 39 UU No. 21/2001 dan bagian
penjelasannya).
Peningkatan alokasi dari Anggaran Pembangunan secara
mencolok untuk membiayai Aparatur Pemerintahan dan
Pengawasan juga terlihat tidak proporsional. Tabel 1
menunjukkan bahwa Sektor Aparatur Pemerintahan dan Pengawasan
menyerap 12,75 persen dari keseluruhan Anggaran
Pembangunan, atau mendekati 156 milyar rupiah. Padahal,
dalam Anggaran Rutin saja sudah dialokasikan dana sebesar
lebih dari 714 milyar rupiah untuk membiayai berbagai
birokrasi, termasuk kegiatan-kegiatan rutinnya. Kalau kedua
sumber ini dijumlahkan, maka akan diperoleh angka lebih
dari 870 milyar rupiah. Artinya, kurang lebih 45 persen dari
keseluruhan RAPBD tahun 2002 digunakan untuk
membiayai kegiatan birokrasi. Hal ini jelas tidak sehat dan
sama sekali jauh dari semangat untuk menciptakan
pemerintahan yang bersih dan profesional di Provinsi Papua.
48
Sejauh Mana RAPBD Mencerminkan Pemihakan dan
Pemberdayaan Orang-orang Asli Papua
Pada bagian awal tulisan ini telah dikutip intisari dari
Pidato Gubernur Provinsi Papua pada tanggal 21 Januari
2001. Dalam pidato itu secara tegas dikemukakan bahwa
setiap program pembangunan di Provinsi Papua harus
mampu menunjukkan dengan jelas keberpihakannya bagi
orang-orang Papua, dan harus dilakukan dalam kerangka
pemberdayaan orang-orang asli Papua.
Dalam Sub-sektor Pendidikan dan Kesehatan, misalnya,
pemihakan dan pemberdayaan dimaksud salah satunya
haruslah dalam bentuk mengurangi beban pembiayaan rakyat
serendah-rendahnya untuk sektor Pendidikan dan Kesehatan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 56 ayat 3 dan Pasal 59
ayat 3 Undang-undang Nomor 21 tahun 2001. Dengan
perkataan lain, harus ada alokasi anggaran yang bertujuan
untuk mensubsidi secara langsung biaya-biaya pendidikan
dan kesehatan yang selama ini dipikul oleh rakyat.
Sayangnya, RAPBD Provinsi Papua tahun 2002 tidak
mencantumkan hal tersebut dalam proyek-proyeknya. Tidak
ada anggaran yang dialokasikan untuk secara khusus
memberikan subsidi bagi para peserta didik di Provinsi
Papua, khususnya anak-anak Papua asli, agar orang tua
mereka tidak perlu lagi mengeluarkan uang mereka sendiri
yang sudah sangat terbatas itu untuk membeli buku tulis, alat
tulis, buku-buku pelajaran, pakaian seragam, sepatu dan lainlain.
49
Hal yang sama juga terjadi pada pengalokasian anggaran
untuk pembangunan kesehatan. Tidak terlihat dengan jelas
berapa besar dana yang dialokasikan agar orang-orang asli
Papua tidak perlu lagi mengeluarkan dana untuk membiayai
pengobatan mereka di fasilitas kesehatan pemerintah.
Selain contoh-contoh yang dikeluarkan di atas, perlu pula
dikemukakan di sini bahwa masih belum tercermin secara
jelas dalam RAPBD ini upaya-upaya yang secara sengaja
direncanakan oleh Pemerintah Provinsi untuk memberdayakan
orang-orang Papua asli di dalam setiap proyek pada
setiap sektor pembangunan. Analisis isi (content analysis)
yang dilakukan terhadap judul-judul proyek pada hampir
semua sektor/sub-sektor sebagaimana yang tercantum dalam
RAPBD membuat saya terpaksa menyimpulkan bahwa sulit
untuk menyatakan bahwa proyek-proyek tersebut memang
dirancang dan diarahkan untuk pemberdayaan orang Papua
asli, karena tidak jelas siapa yang akan menjadi resipien
(penerima manfaat) langsung dari proyek-proyek tersebut.
Keterlibatan Pemerintah Kabupaten/Kota dan Stakeholder
Lainnya
Salah satu masalah mendasar dengan proses penyusunan
RAPBD Provinsi Papua tahun 2002 adalah bahwa usulanusulan
kegiatan pembangunan seperti yang terlihat dalam
proyek-proyek tersebut sangat sedikit atau bahkan sama
sekali tidak melibatkan stakeholder non-Pemerintah Provinsi
yang seharusnya diikutsertakan.
50
Perlu digarisbawahi bahwa yang dimaksud dengan
Pemerintahan Provinsi Papua di dalam Undang-undang
Nomor 21 tahun 2001 tidak saja terbatas pada pemerintahan
tingkat Provinsi, tetapi juga pemerintahan tingkat Kabupaten/
Kota bahkan sampai ke kampung-kampung. Dengan
demikian penting untuk selalu diupayakan agar Kabupaten/
Kota tidak sekedar menjadi objek/sasaran dalam
perencanaan dan pelaksanaan Pembangunan. Menjadikan
daerah bawahan hanya sebagai sasaran adalah salah satu
kelemahan pemerintahan Orde Baru yang seharusnya tidak
boleh terjadi lagi dalam masa reformasi sekarang ini. Kita
harus berusaha, supaya “Jayapura” pada masa reformasi,
apalagi pada masa Otsus Papua, tidak menjadi seperti
“Jakarta” pada masa Orde Baru.
Jadi, pada dasarnya ada dua ekstrim yang harus dihindari
dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan atas dasar
RAPBD 2002. Ekstrim yang pertama adalah proyek-proyek
pembangunan diputuskan dan dikendalikan dari Jayapura
(termasuk para pimpro-nya pun berkedudukan di Jayapura).
Ekstrim yang kedua adalah mengalokasikan sejumlah besar
dana yang berasal dari pendanaan Otsus ke pemerintah
kabupaten/kota tanpa disertai dengan suatu mekanisme
untuk memastikan bahwa dana itu benar-benar akan
digunakan untuk menjalankan amanat Undang-undang
Nomor 21/2001.
Saya menyarankan bahwa yang harus dilakukan adalah
kombinasi dari kedua ekstrim tersebut di atas. Pendekatan
kombinasi adalah dalam bentuk pemerintah provinsi
melibatkan instansi-instansi teknis dari pemerintah kabu51
paten/kota, ditambah stakeholder lain (lihat alinea di bawah)
untuk bersama-sama membahas apa yang seharusnya
dilakukan sesuai dengan pengalokasian dana untuk sektor
tertentu. Kesepakatan yang dimaksud tidak saja menyangkut
program apa yang harus dilakukan, tetapi juga siapa yang
melakukan, dan pendanaannya dikendalikan dari mana.
Dengan cara seperti ini bisa diidentifikasi proyek-proyek apa
saja yang sebaiknya (baca: lebih efisien dan efektif)
dikendalikan dari tingkat Kabupaten (dan karena itu harus
masuk dalam RAPBD Kabupaten/Kota yang bersangkutan),
dan proyek-proyek apa yang akan jauh lebih efektif dan
efisien dikendalikan dari tingkat Provinsi.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah melibatkan
elemen-elemen masyarakat yang berkompeten (LSM,
Yayasan, lembaga-lembaga keagamaan, lembaga-lembaga
profesi, dll) di dalam perencanaan dan pelaksanaan proyekproyek
pembangunan yang sumbernya berasal dari pengalokasian
khusus dalam rangka pelaksanaan Otsus.
Pendekatan ini pada dasarnya adalah pelaksanaan amanat
dari Undang-undang Nomor 21 tahun 2001, sebagaimana
yang tercantum dalam bagian Umum dari Penjelasan
Undang-undang tersebut, yang berbunyi sebagai berikut:
... [dengan memungkinkan terciptanya] partisipasi
rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan,
pelaksanaan dan pengawasan dalam
penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan
pembangunan ...”
52
Hal-hal yang dikemukakan di atas hanya dapat dicapai
apabila masing-masing instansi teknis di tingkat Provinsi
Papua (Biro, Dinas, Badan, dll) melakukan apa yang dikenal
dengan istilah “konsultasi stakeholder”. Ada banyak manfaat
yang dapat diperoleh dari konsultasi stakeholder seperti ini.
Yang pertama adalah, konsultasi stakeholder akan menolong
semua pihak untuk memastikan bahwa apa yang
direncanakan dan dilaksanakan benar-benar mencerminkan
semangat dan isi Undang-undang Nomor 21 tahun 2001.
Yang kedua, konsultasi seperti ini memungkinkan
terjadinya pengawasan yang efektif – sesuatu hal yang harus
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan
proses pelaksanaan proyek-proyek yang dibiayai dari Dana
Otsus. Kecenderungan-kecenderungan untuk terjadinya inefisiensi
penggunaan dana Otsus, termasuk di dalamnya dalam
bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), akan relatif
efektif dapat diawasi dan dihindari apabila dilakukan proses
konsultasi stakeholder seperti yang dimaksud di atas.
Yang ketiga, konsultasi stakeholder adalah alat yang
efektif untuk menciptakan rasa memiliki dan meningkatkan
tanggung jawab bersama antar berbagai unsur di
pemerintahan, parlemen dan masyarakat terhadap
keberhasilan program Otsus. Otsus Papua yang berdaya
adalah Otsus Papua yang diterima dan dihargai oleh rakyat
Papua sendiri. Dan, salah satu cara untuk mencapai hal
tersebut adalah dengan memastikan terjadinya konsultasi
stakeholder.
53
Apa yang harus dilakukan?
Menyadari tentang pentingnya dana Otsus digunakan
secara tertib, benar dan tepat sejak awal, maka disarankan
kepada Pemerintah Provinsi dan DPRP Papua untuk
mempertimbangkan pokok-pokok berikut ini.
Pokok 1: Prioritaskan segera pembentukan MRP
Agar Dana Otsus dapat digunakan pada tahun 2002 ini,
tidak ada cara lain yang konsisten dengan isi Undang-undang
Nomor 21 tahun 2001 kecuali memprioritaskan pembentukan
MRP. Segera sesudah MRP terbentuk, maka Eksekutif dan
Legislatif dapat memasukkan rancangan rencana pemanfaatan
dana otsus tersebut (sebagai bagian dari RAPBD 2002)
kepada MRP untuk dibahas. Apabila MRP menyetujuinya,
maka rancangan tersebut dapat langsung disahkan oleh DPRP
untuk kemudian digunakan untuk melaksanakan programprogram.
Sebaliknya, apabila MRP tidak menyetujui, maka
sudah barang tentu rancangan tersebut masih harus
diperbaiki.
Pokok2: Sementara proses pembentukan MRP berlangsung,
rancangan rencana pemanfaatan Dana Otsus harus
dibahas ulang dengan melakukan konsultasi
stakeholder secara baik
Pembentukan MRP akan memakan waktu, dan karenanya
perlu dilakukan kegiatan perencanaan penggunaan keuangan
54
yang berasal dari pendanaan Otsus secara secara paralel.
Dengan cara seperti ini maka kita tidak perlu kehilangan
waktu percuma, dan dana Otsus untuk tahun 2002 tetap
dapat digunakan sesuai peruntukannya. Perencanaan
keuangan Otsus untuk tahun 2002, sementara menunggu
pembentukan MRP, seharusnya dapat dilakukan secara baik
karena tersedia waktu lebih banyak untuk melakukan
konsultasi stakeholder.
Pokok 3: Kegiatan pembangunan tahun anggaran 2002
tetap dapat dilaksanakan sesuai jadual dengan
membatasi diri pada sumber-sumber anggaran
sesuai dengan Undang-undang Nomor 25 tahun
1999
Pertanyaan yang penting diajukan adalah bagaimana
dengan pemanfaatan dana yang berasal dari sumber-sumber
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 25 tahun
1999, seperti yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah
(PAD), DAU (Dana Alokasi Umum), DAK (Dana Alokasi
Khusus), dan sumber-sumber lain yang sah?
Sudah barang tentu, sumber-sumber dana ini tetap dapat
dilakukan perencanaan dan penggunaannya sesuai dengan
prosedur yang selama ini berlaku dan tidak perlu menunggu
pembentukan MRP terlebih dahulu. Besar anggaran itu pun
memadai untuk melakukan kegiatan-kegiatan pembangunan
pada tahun 2002, karena pasti lebih besar dari Rp
776,667,986,364 (anggaran Provinsi Papua tahun 2001).
55
Pokok 4: Pastikan bahwa amanat Undang-undang Nomor
21 tahun 2001 dalam setiap pasalnya terakomodir
dalam perencanaan anggaran pembangunan pada
tahun 2002
Pada Lampiran 1 termuat isu-isu pembangunan yang saya
coba sarikan dari setiap pasal dan penjelasan Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2001. Saya sarankan agar pihak-pihak
yang membahas RAPBD Provinsi Papua tahun 2002 untuk
menggunakan daftar tersebut sebagai check-list untuk
memastikan bahwa isu-isu pembangunan tersebut
terakomodasi dalam RAPBD tersebut.
Pokok 5: Berikan perhatian pada upaya-upaya perbaikan
ketersediaan data dan informasi yang benarbenar
mencerminkan keadaan yang sebenarnya
sebagai prasyarat utama perencanaan pembangunan
Papua
Salah satu masalah pokok pembangunan di Provinsi
Papua adalah kelangkaan data dan informasi yang benarbenar
dapat dipercaya – apalagi yang menyangkut berbagai
informasi sosial, ekonomi dan kebudayaan penduduk asli
Papua. Tentu kita masih ingat bahwa Sensus Penduduk 2000
tidak dapat dilakukan di paling tidak 4 Kabupaten di Provinsi
Papua: Puncak Jaya, Paniai, Jayawijaya dan Yapen Waropen.
Selain itu, cukup banyak orang asli Papua di Kabupaten/Kota
lain yang menolak untuk dicacah pada sensus tersebut.
Karena itu saya menyarankan agar dilakukan Sensus
56
Penduduk Papua pada tahun 2002 dengan menggunakan
kuesioner yang lebih tajam mengukur variabel-variabel yang
memungkinkan kita untuk memperoleh pemahaman yang
lebih jelas dan mendalam tentang keadaan orang-orang asli
Papua pada khususnya dan penduduk Papua pada umumnya.
Dengan demikian, kita akan memperoleh data yang jauh
lebih dapat dipercaya dan akan sangat bermanfaat bagi perencanaan
pembangunan di masa mendatang.
57
5
MENCEGAH PELAKSANAAN
OTSUS YANG MUDARATi
Pendahuluan
Bab ini menjelaskan tentang hal-hal yang menurut saya
perlu diantisipasi karena merupakan kunci untuk
memastikan bahwa Otsus dilaksanakan secara benar di
Papua. Ada delapan hal pokok, yaitu:
1. menciptakan tata pemerintahan yang baik;
2. mensinergikan dua semangat dasar Undang-undang
Nomor 21/2001, yaitu pemihakan dan pemberdayaan
orang asli Papua;
3. membentuk MRP (Majelis Rakyat Papua) yang berdaya;
4. memberdayakan masyarakat adat dan memperkuat
kelembagaan-kelembagaan adat Papua;
5. pemerintah, parlemen dan MRP melakukan konsultasi
stakeholder di dalam proses pengambilan keputusankeputusan
yang menyangkut kehidupan rakyat banyak;
6. menetapkan prioritas pelaksanaan pemerintahan dan
pembangunan;
7. melakukan pengawasan; dan
8. semua pihak, baik yang berada di Provinsi Papua, maupun
di Pusat, bahkan seluruh rakyat Indonesia, untuk terus
mengedepankan dialog dan mengupayakan jalan-jalan
58
damai untuk mencari penyelesaian menyeluruh dan
bermartabat bagi masalah-masalah di Provinsi Papua.
Tata Pemerintahan yang Baik
Keberhasilan pelaksanaan Otsus Papua dalam jangka
pendek, menengah, dan panjang, ditentukan dengan sejauh
mana tata pemerintahan yang baik (good governance)ii bisa
diciptakan dan ditumbuhkembangkan di Provinsi Papua.
Rakyat Papua membutuhkan pemerintahan yang dicirikan
oleh transparansi, akuntabilitas, dan demokrasi. Pemerintahan
di Provinsi Papua, mulai dari tingkat provinsi,
kabupaten/kota, distrik, sampai di kampung harus mampu
bekerja secara profesional karena sistem dan para
pelaksananya kapabel dan memiliki integritas yang tinggi.
Hanya melalui tata pemerintahan yang baik maka Otsus
dapat membawa kebajikan bagi penduduk di seluruh Provinsi
Papua.
Pada Bagian Umum Penjelasan Undang-undang Nomor
21/2001 ditandaskan bahwa pemerintahan di Provinsi Papua
haruslah dicirikan dengan:
“... (a) [terdapatnya] partisipasi rakyat sebesar-besarnya
dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam
penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan
pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat,
agama, dan kaum perempuan; (b) [dilaksanakannya] ...
pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk
memenuhi kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada
59
khususnya dan penduduk Provinsi Papua pada umumnya
dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip pelestarian
lingkungan, pembangunan berkelanjutan, berkeadilan dan
bermanfaat langsung bagi masyarakat; dan (c)
[terselenggaranya] ... pemerintahan dan pelaksanaan
pembangunan yang transparan dan bertanggungjawab
kepada masyarakat.
Kutipan di atas jelas menunjukkan bahwa sejak Otsus
diberlakukan, pemerintahan di Provinsi Papua sudah tidak
bisa dijalankan seperti di waktu lalu lagi. Tidak berlebihan
kalau dikatakan bahwa harus terjadi kelahiran kembali
seluruh jajaran pemerintahan di Provinsi Papua – mulai dari
tingkat provinsi, kabupaten/kota, sampai ke kampungkampung,
supaya harapan-harapan sebagaimana yang termuat
UU No. 21/2001 dipenuhi.
Sudah barang tentu hal ini bukanlah persoalan gampang.
Bahkan, harus dikatakan bahwa soal pelik ini bukan hanya
persoalan Provinsi Papua saja, tetapi di semua jajaran
pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia.
Dalam beberapa tahun belakangan ini saya mengasuh mata
kuliah Pengembangan Kelembagaan bagi mahasiswa
Penyuluhan Pertanian di Fakultas Pertanian dan Teknologi
Pertanian Universitas Negeri Papua, Manokwari. Salah satu
topik yang wajib untuk didiskusikan adalah birokrasi.
Sesudah memastikan bahwa para mahasiswa memahami
dengan baik dasar-dasar teori birokrasi, kepada setiap
angkatan saya selalu menanyakan pendapat mereka tentang
birokrasi di Indonesia pada umumnya, dan khususnya di
60
Papua. Saya meminta para mahasiswa membandingkan hasil
pengamatan mereka dengan birokrasi ideal menurut Max
Weber.iii
Adalah menarik, bahwa jawaban yang diberikan oleh para
mahasiswa tersebut dari tahun ke tahun tidak terlalu
bervariasi, dan dapat dikelompokkan ke dalam tiga
kecenderungan berikut ini:
· Birokrasi adalah suatu organisasi yang sangat tambun,
karenanya banyak pegawai negeri yang menganggur di
kantor.iv
· Para birokrat lebih menuntut dilayani oleh masyarakat
ketimbang melayani masyarakat; dan
· Korupsi, kolusi dan nepotisme di kalangan birokrasi kita
benar-benar memprihatinkan – mulai dari soal kendaraan
dinas yang lebih banyak dipakai untuk urusan keluarga;
harta, kekayaan dan gaya hidup yang di luar batas
kewajaran pegawai negeriv; sampai ke soal penerimaan
pegawai dan pengangkatan pejabat publik yang lebih
banyak karena kedekatan primordial ketimbang
kemampuan dan prestasi.
Di lain pihak, pemerintahan bukan hanya birokrasi.
Pemerintahan (governance) Papua juga berarti DPRP Papua,
DPR Kabupaten/Kota, dan tidak berapa lama lagi: Majelis
Rakyat Papua (MRP). Hal ini secara tegas dimuat dalam Bab
V UU No. 21/2001 mengenai Bentuk dan Susunan
Pemerintahan di Provinsi Papuavi.
Dengan demikian jelaslah, bahwa kalau berbicara tentang
tata pemerintahan yang baik (good governance) di Provinsi
Papua, maka yang dimaksud tidak hanya birokrasi (Gubernur,
61
Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, Wakil
Walikota, para kepala Dinas, Badan, Kantor, dan semua
pegawai negeri), tetapi juga institusi dan anggota DPRP
Provinsi, Kabupaten dan Kota, serta MRP. Bahkan karena
Trias Politica adalah prinsip pemerintahan yang dianut, maka
para penegak hukum seperti hakim, jaksa dan polisi, termasuk
Tentara Nasional Indonesia (TNI), juga haruslah merupakan
bagian dari pemerintahan yang bersih di Papua.
Mengkritisi kinerja DPRP Provinsi, DPR Kabupaten
dan/atau kota di Provinsi Papua akan lebih tepat apabila
dimulai dari menilai sejauh mana para wakil rakyat ini
mampu untuk melaksanakan tiga fungsinya secara baik, yaitu
fungsi pengawasan, legislasi dan budgetting. Ketika orde baru
masih berkuasa, dua fungsi yang disebut terakhir lebih
banyak diperankan oleh eksekutif. Fungsi pengawasan,
kalaupun dilakukan, lebih bersifat pro-forma dan mandul.
Tetapi, keadaan telah berubah. Reformasi sudah hampir lima
tahun berjalan. Karena itu sudah selayaknyalah apabila DPR
di Papua lebih mampu memainkan fungsi-fungsi pembuatan
legislasi dan penganggaran (budgetting), di samping terus
menerus meningkatkan kemampuan pengawasannya. Hal ini
penting, karena setahu saya belum pernah ada inisiatif oleh
DPR di seluruh Provinsi Papua, baik di tingkat provinsi
maupun kabupaten/kota, untuk mendalami suatu
permasalahan pemerintahan atau pembangunan tertentu dan
menerjemahkannya ke dalam konsep (draft) peraturan daerah
yang disodorkan ke eksekutif untuk diperdebatkan,
diperkaya, lalu ditetapkan dan dilaksanakan oleh eksekutif
dan pihak-pihak lain yang berkompeten.
62
Sesungguhnya DPR di tingkat Provinsi maupun
Kabupaten/Kota di Papua memiliki potensi yang sangat besar
untuk mulai memenuhi fungsi-fungsi legislasinya secara
berdaya. DPR juga pasti mampu untuk mengajukan Rencana
Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) Provinsi
Papua menurut versinya sendiri. Yang diperlukan sederhana
saja: (1) kemauan dan komitmen untuk menjadi DPR yang
`baru’, DPR yang `berbeda’, dalam era Otsus Papua ini; dan
(2) memanfaatkan potensi yang ada di Papua untuk
mendukung DPR menjalankan fungsi-fungsinya.
Persoalan birokrasi pada umumnya, termasuk di Provinsi
Papua, adalah rendahnya mutu pelayanan yang diberikan
kepada masyarakat. Mutu yang rendah ini disebabkan oleh
berbagai faktor – di antaranya: kurangnya disiplin,
pengawasan yang mandul, rendahnya profesionalisme, dan
lemahnya integritas diri. Karena rakyat Papua pada dasarnya
sementara berlomba dengan waktu, pendekatan yang
digunakan haruslah mampu menjawab sebanyak mungkin
masalah-masalah yang dikemukakan tersebut di atas dalam
waktu yang relatif singkat. Karenanya, perlu dicari terobosan
segera sehingga pemecahan masalah-masalah birokrasi yang
ada sekarang tidak berlarut-larut dan berkembang menjadi
lebih besar, lebih kompleks, dan lebih sulit diselesaikan di
waktu mendatang. Dari mana kita harus memulai?
Ada empat kemungkinan pemecahan masalah yang ingin
saya usulkan: (1) merasionalisasi pegawai daerah; (2) merekrut
para pejabat publik secara transparan atas dasar kemampuan
dan integritas diri, termasuk melakukan rekrutmen dari
sumber non-birokrasi; (3) meningkatkan profesionalisme dan
63
disiplin kerja, serta menjalankan pengawasan yang
bermartabat; dan (4) menciptakan parlemen yang berdaya.
(1) Rasionalisasi pegawai
Seorang pejabat pemerintah Provinsi Papua yang
membidangi masalah pemerintahan memberitahukan kepada
saya bahwa menurut taksirannya Pemerintah Provinsi Papua
(hanya di tingkat provinsi saja) pada akhir tahun 2001 telah
kelebihan sekitar 2000 orang pegawai. Secara formal hal ini
tampaknya merupakan akibat dari pemberlakuan Undangundang
Nomor 22 tahun 1999 – sehingga hampir semua
pegawai instansi pusat di daerah diserahkan kepada daerah
otonom. Tetapi, secara finansial keadaan ini jelas
memberatkan kemampuan keuangan daerah, karena setiap
bulannya pemerintah provinsi harus menyisihkan lebih 2
milyar rupiah untuk membayar gaji dan tunjangan
pegawainya yang menganggur secara tak kentara ini.
Ada empat pendekatan yang bisa digunakan untuk
memecahkan masalah ini. Pertama, meredistribusi pegawai
yang berlebih ini pada daerah yang membutuhkan.
Misalnya, beberapa waktu lalu telah diresmikan
pembentukan 14 (empat belas) kabupaten baru di Provinsi
Papua sesuai dengan UU No. 26/2002. Sudah barang tentu
pemerintah kabupaten-kabupaten baru tersebut memerlukan
pegawai. Sebaiknya, para pegawai yang berlebihan di tingkat
provinsi direlokasi ke kabupaten-kabupaten tersebut.
Pendekatan kedua adalah dengan melaksanakan suatu
studi yang mengidentifikasi secara cermat kebutuhan tenaga
untuk jenis-jenis keahlian/profesi tertentu yang masih
64
diperlukan untuk memajukan masyarakat Papua. Kemudian,
pemerintah menyeleksi dan melatih ulang para pegawai yang
berlebih itu agar terampil melaksanakan keahlian/profesi
yang dibutuhkan. Misalnya, profesi penyuluh ekonomi
masih kurang dimiliki di Provinsi Papua. Yang sudah banyak
dihasilkan selama ini barulah para penyuluh teknis yang
memfasilitas peningkatan produksi fisik masyarakat. Tetapi,
peningkatan produksi tidak selalu serta merta mengakibatkan
peningkatan pendapatan tunai masyarakat. Apalagi persoalan
meningkatkan produksi sama sekali berbeda dengan
persoalan mengatur keuangan dengan cermat demi
peningkatan kesejahteraan keluarga. Itu sebabnya, penyuluh
ekonomi (ada juga yang menyebutnya dengan istilah
penyuluh ekonomi rumah tangga – household economics
extension officer) sebenarnya sangat diperlukan dalam rangka
meningkatkan ketrampilan ratusan ribu rumah tangga di
Papua untuk mengelola keuangan keluarga mereka secara
baik dan bertanggung jawab. Hal yang sama juga cocok
dilakukan untuk menjawab kebutuhan akan profesi-profesi
lain yang SDM-nya masih terbatas, seperti guru, pendamping
koperasi, tenaga administrasi di kantor-kantor masyarakat
adat, dan sebagainya.
Pendekatan ketiga adalah pendekatan yang sudah lumrah
dilakukan di lingkungan perusahaan-perusahaan swasta dan
di banyak pemerintah di dunia, yaitu menawarkan pensiun
dini ketika terjadi kelebihan tenaga pegawai. Hal ini pun
memungkinkan untuk dilakukan oleh pemerintah di Provinsi
Papua. Apabila Otsus berjalan baik maka akan tercipta
peluang kerja/berusaha yang sangat besar di sektor
65
swasta/non pemerintah – dan jika pegawai negeri bersedia
untuk `banting stir’ dengan bergerak sebagai wirausahawan,
maka sudah barang tentu penghasilan yang diperolehnya
akan lebih tinggi ketimbang ketika masih sebagai pegawai
negeri. Oleh karena itu, agar berhasil, program pensiun dini
ini perlu dikemas sedemikian rupa sehingga menarik –
termasuk pemberian bonus, pelatihan ketrampilan prapensiun,
dan sebagainya.
Pendekatan keempat, adalah merekrut pegawai kontrak.
Dengan cara ini, pemerintah akan lebih mampu mengontrol
jumlah pegawai sesuai dengan kebutuhan. Artinya, apabila
para pegawai tersebut sudah tidak diperlukan lagi, maka
kontrak mereka tidak perlu diperpanjang. Selain itu,
rekrutmen pegawai dengan cara kontrak efektif untuk
menegakkan disiplin. Apabila ada pegawai kontrak yang
bermasalah, tidak diperlukan prosedur yang panjang untuk
memberhentikannya dan menggantinya dengan orang lain
yang memang sungguh-sungguh ingin menjadi pegawai
pemerintah yang baik.
Uraian di atas pada dasarnya menandaskan bahwa perlu
diteliti kembali seberapa jauh pengangkatan pegawai-pegawai
baru masih dibutuhkan dalam jumlah besar di lingkungan
pemerintah provinsi atau kabupaten/kota di Papua.
Karenanya, sebelum pegawai baru direkrut, perlu terlebih
dahulu dilakukan analisis yang cermat dan mendalam untuk
mengetahui secara benar kualitas dan kuantitas pegawai yang
ada. Perlu dipertanyakan secara kritis apakah pegawai yang
ada sekarang ini telah bekerja dengan seharusnya untuk
melayani masyarakat, atau yang sementara berlangsung
66
adalah pengangguran tak kentara. Kalau hal kedua-lah yang
terjadi, maka sebenarnya suatu perlakuan yang tidak adil
sementara dialami oleh kebanyakan rakyat Papua, sebab
untuk sejumlah kecil orang (baca: birokrat/pegawai negeri)
diberikan subsidi dalam bentuk gaji dan tunjangan lain,
sementara rakyat, yang jumlahnya jauh lebih banyak, tidak
pernah memperoleh keistimewaan seperti itu.
(2) Rekrutmen pejabat publik secara transparan dan
didasarkan pada kelayakan dan kemampuan,
Belakangan ini, terutama di tingkat nasional, dikenal
istilah fit-and-proper test (uji kelayakan dan kepatutan)
sebagai salah satu metoda untuk merekrut pejabat-pejabat
publik tertentu. Tujuannya adalah agar diperoleh orangorang
yang paling layak dan paling mampu untuk menduduki
jabatan tersebut, sehingga kemampuan dan hasil kerjanya
pun dapat maksimal demi kesejahteraan rakyat.
Ada baiknya metoda seperti itu juga diberlakukan di
Provinsi Papua dalam rangka menjaring putra-putri Papua
yang paling layak dan paling mampu untuk menduduki
jabatan-jabatan publik di pemerintahan. Sudah sering terjadi
bahwa seseorang ditempatkan pada jabatan pemerintahan
tertentu bukan karena kemampuannya lebih baik dari yang
lain, tetapi semata-mata karena pangkatnya lebih tinggi, atau
pernah mengikuti kursus penjenjangan administrasi tertentu,
atau malah karena memiliki hubungan primordial dengan
pejabat-pejabat tertentu. Argumentasi yang biasa
dikemukakan apabila ada yang mempersoalkan, adalah: “Dia
‘kan lebih senior!” Tetapi ketika digali lebih mendalam apa
67
yang dimaksud dengan senioritas itu, maka umumnya yang
dimaksud adalah bahwa yang bersangkutan lebih tua usianya
dibandingkan kandidat yang lain, atau lebih dahulu diangkat
menjadi pegawai. Padahal, apa hubungan usia yang lebih tua
dengan kemampuan yang lebih baik? Bahkan, siapa yang bisa
mengatur kapan ia lahir sehingga membuatnya lebih unggul
dari orang lain?
Cara-cara ini lazim terjadi di masa lalu. Akibatnya,
banyak jabatan publik yang dijabat oleh orang yang sama
sampai belasan tahun. Malahan ada yang memegang jabatan
pimpinan pada suatu intansi teknis yang sama, di tempat yang
sama, di Papua, sampai lebih dari 20 tahun! Dari segi
manajemen pemerintahan yang baik, ini adalah hal yang
sangat sulit diterima akal sehat, sebab: (1) tidak mungkin ia
adalah manusia super jenius sehingga tidak ada lagi orang lain
yang mampu menggantikannya; (2) tidak mungkin ia adalah
manusia yang terus menerus memiliki ide cemerlang untuk
menciptakan pembaruan; dan (3) hampir pasti orang seperti
ini sulit bebas dari ikatan KKN karena lamanya ia memegang
jabatan tersebut – entah karena ia memang suka
melakukannya, atau karena terpaksa.
Jadi, kalau memang yang diinginkan adalah terciptanya
tata pemerintahan yang baik di Provinsi Papua, maka
semestinya yang menjadi ukuran paling utama dalam
rekrutmen pejabat publik (kepala dinas, kepala badan, kepala
kantor, atau pimpinan lain di pemerintahan, termasuk para
pejabat di bawahnya) adalah kelayakan dan kemampuan
seseorang. Soal golongan lebih tinggi, atau pernah mengikuti
kursus penjenjangan, adalah hal-hal penting – tetapi sama
68
sekali tidak boleh menggantikan kelayakan dan kemampuan
teknis serta integritas seseorang yang harus lebih baik dari
semua kandidat yang lain. Sebab, yang dijadikan taruhan
adalah pelayanan terbaik bagi masyarakat. Sekali salah
memilih orang, maka kepentingan orang banyak-lah yang
dikorbankan.
Rekrutmen sebagaimana dimaksud di atas dapat
dilakukan dengan cara mengumumkannya/
mengiklankannya melalui media massa (umumnya melalui
surat kabar atau majalah). Dengan begitu, bukan saja mereka
dari kalangan birokrasi yang dapat melamar untuk
menduduki jabatan publik tersebut, tetapi dari mana saja,
termasuk langsung dari masyarakat. Hal ini lumrah
dilakukan di banyak negara, termasuk di negara tetangga
seperti Papua New Guinea. Filosofinya sederhana: jabatan
publik tidak hanya dapat dijabat oleh birokrat semata-mata.
Kaum profesional non-pemerintah pun dapat memenuhi
tanggung jawab itu dengan baik sepanjang ia memiliki
kemampuan untuk itu. Misalnya, siapa yang lebih cocok dan
kapabel untuk menjadi Kepala Kantor Pariwisata: seorang
pamong praja dan/atau birokrat karir yang tidak pernah
memiliki pengalaman mengenai pariwisata, atau seorang
pimpinan perusahaan pariwisata yang telah makan asam
garam mengembangkan industri tersebut selama puluhan
tahun?
69
(3) Meningkatkan profesionalisme dan disiplin kerja, disertai
dengan pengawasan
Berlakunya Otsus di Provinsi Papua mengakibatkan
dimilikinya sejumlah kewenangan yang tidak ada di masa
sebelumnya, termasuk sebagaimana yang diberikan oleh
otonomi `biasa’ seperti diatur dalam Undang-undang Nomor
22 dan 25 tahun 1999 dan peraturan-peraturan
pelaksanaannya.
Meningkatnya kewenangan seharusnya sejalan dengan
meningkatnya kemampuan birokrasi untuk melaksanakan
kewenangan tersebut. Kalau tidak, maka Otsus Papua hanya
sekedar menciptakan harapan dan mimpi-mimpi yang tidak
pernah akan berwujud dalam bentuk hal-hal nyata yang
langsung dapat dinikmati rakyat. Dengan demikian, tidak
ada pilihan lain yang dimiliki, kecuali meningkatkan
profesionalisme, kedisiplinan dan integritas para birokrat
(baca: pegawai negeri) di Papua.
Apa yang dimaksud dengan birokrat yang profesional?
Ada dua aspek yang saling terkait di sini. Pertama,
kemampuan seorang pegawai negeri/ birokrat, atas dasar
kemampuan dan ketrampilan yang dimilikinya, untuk
memberikan kontribusi bermutu sehingga performan
unit/instansinya meningkat. Semakin berkualitas kontribusi
yang diberikannya, maka dikatakan bahwa orang tersebut
semakin profesional. Hal yang kedua adalah pembayaran
dalam bentuk gaji dan tunjangan lain yang diberikan oleh
pemerintah sebagai akibat dari kontribusi yang diberikan
oleh pegawai/birokrat tersebut.
70
Harus diakui, bahwa gaji dan tunjangan lain yang
diterima oleh birokrat/pegawai negeri di Indonesia, termasuk
di Papua, jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang
diterima oleh para pegawai negeri di negara-negara tetangga.
Tetapi, saya percaya, bahwa dalam era Otsus ini, gaji dan
tunjangan para pegawai negeri harus dapat dinaikkan ke
tingkat yang lebih wajar. Yang perlu dilakukan adalah
mengefisienkan penggunaan anggaran pemerintah untuk
belanja rutin dan pembangunan, menggali sumber-sumber
penerimaan (pajak dan non pajak) baru, dan mengalokasikan
proporsi yang rasional dari kontribusi yang akan diterima
dari sektor gas dan minyak. Dengan cara seperti ini, maka
seluruh birokrat/pegawai negeri akan memperoleh manfaat –
dan bukan hanya dinikmati oleh segelintir orang yang konon
bisa memperoleh `tambahan’ karena mengelola proyekproyek
pemerintah.
Dengan demikian, maka tepatlah apabila segera dimulai
penyusunan strategi peningkatan profesionalisme, integritas,
dan disiplin para birokrat Papua, dan segera pula
memberlakukannya. Tentang apa yang bisa dilakukan untuk
meningkatkan profesionalisme para birokrat, sudah banyak
teori yang dikembangkan untuk itu. Saya juga sudah
mengemukakan beberapa langkah praktis di atas. Karena itu,
saya hanya ingin mengemukakan satu usul saja, yaitu
perlunya membangun dan mengembangkan resource centres
(pusat-pusat sumberdaya) untuk memungkinkan para
pegawai/birokrat kita meningkatkan pengetahuan dan
ketrampilannya secara mandiri.
71
Banyak birokrat/pegawai negeri yang sesudah lulus dari
lembaga pendidikan tidak lagi mengembangkan kemampuan
dirinya dengan menambah pengetahuan dan ketrampilan
yang terkait dengan pekerjaannya secara mandiri. Bahkan,
instansi di mana mereka bekerja pun tidak merangsang
timbulnya susana belajar mandiri seperti ini. Padahal, apabila
kemampuan diri birokrat/pegawai tersebut bertambah, yang
pertama kali akan memperoleh manfaat adalah instansi itu
sendiri.
Oleh karena itu, saya mengusulkan agar pemerintah
provinsi, maupun kabupaten/kota agar membuka beberapa
resource centre bagi para pegawai di lingkungan masingmasing.
Setiap resource centre berfungsi untuk melayani
kebutuhan beberapa instansi pemerintah yang memiliki
kemiripan bidang/lingkup tugas. Agar dapat berfungsi
dengan baik, setiap resource centre perlu dilengkapi dengan
perpustakaan yang memadai, yang terdiri dari sumbersumber
informasi seperti buku, diktat, modul, majalah,
jurnal, video, audio, slides, dan internet, yang
memungkinkan para pegawai untuk mengakses informasi
terbaru tentang bidang keahlian yang ditekuninya. Selain
itu, resource centre juga perlu dilengkapi dengan sejumlah
narasumber (resource person), yaitu para pakar dalam
bidang-bidang yang dibutuhkan oleh instansi tersebut. Para
narasumber inilah yang ditugaskan untuk menganalisis
kebutuhan dan perilaku belajar/pengembangan kemampuan
diri para pegawai, serta menjawabnya melalui
penyelenggaraan dan pemfasilitasian program-program dan
kegiatan-kegiatan belajar mandiri. Resource centre juga
72
perlu secara berkala menyelenggarakan seminar dan
lokakarya yang memungkinkan para pesertanya (baca:
birokrat/pegawai) untuk belajar secara interaktif dengan cara
bertukar pikiran dengan para narasumber maupun sesama
pegawai.
Peningkatan kemampuan dan ketrampilan pegawai
dengan cara mengembangkan resource centre jauh lebih
hemat (cost-effective) dibandingkan mengalokasikan dana
yang besar bagi sejumlah kecil pejabat/pegawai untuk
mengambil program pendidikan gelar, baik S-1, S-2 maupun
S-3. Hal ini tidak berarti bahwa saya tidak menyetujui
program beasiswa pendidikan yang diberikan kepada
sejumlah pegawai untuk memperoleh gelar. Ini program
yang baik yang perlu dilanjutkan – tentu dengan catatan
bahwa mereka yang sudah memperoleh gelar itu harus
diarahkan untuk bisa memanfaatkan pengetahuannya bagi
kemajuan Papua sebaik mungkin. Yang saya maksudkan
adalah selain mengalokasikan dana untuk keperluan studi S-
1, S-2 dan S-3 di atas, pemerintah harus mengalokasikan
lebih banyak dana lagi untuk memberikan kesempatan
kepada semua pegawai untuk meningkatkan pengetahuan
dan kemampuan mereka. Tidak ada cara yang lebih tepat
untuk mencapai tujuan itu kecuali membangun pusat-pusat
sumberdaya (resource centres).
(4) Menciptakan Parlemen yang Berdaya di Provinsi Papua
Yang diperlukan oleh DPR di Provinsi Papua dewasa ini,
baik DPR provinsi maupun DPR kabupaten/kota, adalah
upaya-upaya strategis agar mereka lebih berdaya dan mampu
73
melaksanakan fungsi-fungsinya secara baik, yaitu fungsi
pengawasan, penganggaran (budgetting), dan legislasi.
Tantangan yang dihadapi di Papua, terutama dalam era Otsus,
tidak menjadi lebih sedikit, tetapi lebih banyak, beragam dan
kompleks. Sulit bagi parlemen untuk menyelesaikan
masalah-masalah itu sendiri. Bahkan, cara-cara konvensional
yang selama ini dipakai, misalnya dengar pendapat (hearing),
kunjungan kerja ke lapangan, atau studi banding, tidak akan
mampu mengantisipasi dinamika sosial-ekonomi dan politik
yang berubah begitu cepat dalam Otsus. Belum lagi apabila
yang dipersoalkan adalah bagaimana parlemen dapat
mengimbangi eksekutif dan dunia swasta dalam
mengembangkan kebijakan-kebijakan politik dan
pembangunan demi kemajuan rakyat Papua.
Cara yang paling mungkin dilakukan segera adalah
membentuk Tim-Tim Ahli. Tim ahli seperti ini pada
dasarnya adalah `think-tank’, kelompok pemikir, yang
bertugas memberikan saran-saran atas dasar telaah ilmiah
kepada para anggota parlemen tersebut. Idealnya setiap
anggota parlemen memiliki think-tank-nya sendiri,
sebagaimana di negara-negara maju. Tetapi mungkin itu
terlalu mahal untuk sekarang ini. Oleh karena itu, saya
mengusulkan agar setidak-tidaknya setiap komisi di parlemen
(provinsi maupun kabupaten/kota) memiliki think-tank
dimaksud. Bila perlu think-tank itu lebih dari satu
jumlahnya untuk setiap komisi, sehingga komisi dimaksud
tidak hanya terpaku pada satu macam analisis saja. Para
anggota think-tank bisa direkrut dari perguruan tinggi,
74
kelompok-kelompok profesi, wartawan, LSM, atau individu,
bahkan pihak-pihak lain yang dinilai mampu.
Cara seperti ini tidak akan mengakibatkan para anggota
DPR kehilangan independensinya. Sebab, pada akhirnya
keputusan untuk menggunakan atau tidak menggunakan
hasil analisis tersebut tetap berada di tangan mereka. Yang
diharapkan adalah bahwa sebelum parlemen membuat
keputusan atau memberikan pandangan/saran/ pengawasan
kepada eksekutif, swasta, atau pihak-pihak lain, mereka telah
memiliki semua informasi yang diperlukan, dan informasi itu
berdasar telaah ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan
kebenarannya.
Mensinergikan Pemihakan dan Pemberdayaan Orang Asli
Papua
Pokok penting kedua untuk mencegah Otsus Papua yang
mudarat adalah persoalan bagaimana kita bisa mensinergikan
dengan baik dua semangat dasar Undang-undang No.
21/2001, yaitu pemihakan [kepada,] dan pemberdayaan
[terhadap], orang-orang asli Papua.
Kiranya telah menjadi kesepakatan bersama, bahwa
akibat berbagai ketimpangan, kesalahan dan pelecehan yang
terjadi di waktu lalu, yang telah menempatkan orang-orang
asli Papua berada pada posisi pinggiran, mewajibkan
diberlakukannya pemihakan secara bermartabat sebagaimana
yang dimuat dalam UU No. 21/2001. Tujuannya adalah agar
semua ketertinggalan dan keterbelakangan yang selama ini
terjadi bisa dikurangi dan dihilangkan dengan lebih cepat dan
75
strategis. Meminjam kata-kata Gubernur Solossavii,
pemihakan yang dimaksudkan adalah pemihakan yang
memberdayakan, karena “…[apabila tidak] akan menjadi
bumerang bagi kita di waktu mendatang …”. Lebih jauh
beliau menandaskan, “…Kita berharap bahwa melalui
pemihakan dan pemberdayaan yang direncanakan secara baik
dan mantap, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama,
orang-orang asli Papua akan berperan dan berprestasi sama
dengan semua penduduk yang lain di Republik ini …”.
Keberpihakan sebagaimana yang dimaksud di atas tidak
muncul begitu saja dari suatu kevakuman. Keberpihakan
tersebut adalah suatu konsekuensi logis dari proses reformasi
yang sementara berlaku di Indonesia, yaitu munculnya suatu
kesadaran bahwa memang selama lebih dari 30 tahun telah
terjadi pengabaian, bahkan pelecehan, terhadap hak-hak
dasar orang-orang asli Papua – walaupun mereka adalah
bagian dari rakyat suatu negara yang disebut Indonesia yang
memiliki nilai-nilai luhur Pancasila. Hal ini diakui pada
bagian pertimbangan Undang-undang Nomor 21/2001 butir f
dan g yang dikutip berikut ini:
· bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan
pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua
selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa
keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan
tercapainya kesejahteraan rakyat, belum
sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan
hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan
76
penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di
Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua;
· bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan
alam Provinsi Papua belum digunakan secara
optimal untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat asli, sehingga telah mengakibatkan
terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dan
daerah lain, serta merupakan pengabaian hak-hak
dasar penduduk asli Papua.
Kedua hal yang disebutkan di atas dan sejumlah hal lain
seperti yang termuat dalam bagian pertimbangan adalah
alasan-alasan dan latar belakang mengapa perlu diberlakukan
suatu kebijakan khusus di Provinsi Papua. Dan salah satu
penciri utama kebijakan khusus itu adalah keharusan
diterapkannya secara konsekuen keberpihakan kepada orangorang
asli Papua dalam dimensi ekonomi, sosial, kebudayaan,
dan politik.
Diperlukan kepala yang dingin dan hati yang terbuka
untuk memahami secara lebih mendalam mengapa
keberpihakan seperti ini memang wajar dan harus dilakukan.
Sebab, jika tidak, maka hal ini bisa berkembang – entah
disengaja atau tidak disengaja – menjadi isu-isu sosial dan
politik yang justru akan memecah-belah masyarakat, yaitu
bahwa ada proses diskriminasi yang terjadi terhadap mereka
yang bukan orang-orang asli Papua. Pemelintiran fakta
seperti ini biasanya dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak
mau mengerti bahwa keberpihakan terhadap orang-orang asli
Papua justru akan memberikan manfaat jangka panjang dan
77
berkesinambungan bagi semua orang di Provinsi Papua di
masa mendatang.
Ada sebuah teladan untuk menggambarkan hal ini. Untuk
dapat berlaga di suatu gelanggang pertandingan, semua atlit
memerlukan persiapan dan latihan yang sungguh-sungguh.
Persiapan dan latihan itulah yang menentukan apakah
seorang atlit bisa memperoleh medali atau tidak.
Persoalannya ada sejumlah atlit yang tidak
memperoleh/diberikan kesempatan dan dukungan yang
memadai untuk mempersiapkan diri secara baik sehingga
dapat bertarung secara fair dengan para atlit yang lain.
Tetapi, atlit ini dipaksa bertanding. Aturan-aturan yang
diterapkan dalam pertandingan itu serbasama dan berlaku
ketat untuk siapa saja. Sudah jelas siapa yang akan tertinggal
jauh dan kalah dalam lomba itu.
Bagaimana memecahkan masalah seperti ini? Bagaimana
agar atlit yang terlambat dilatih dan terlambat dipersiapkan
itu tidak terus menerus kalah? Apa yang harus dibuat agar
dalam waktu segera ia bisa memperoleh kesempatan untuk
bertarung secara fair dan memiliki peluang yang sama besar
untuk menang? Sudah barang tentu jawabannya bukanlah
meminta semua atlit yang lain berhenti berlatih dan
bertanding demi menunggu kawannya yang tertinggal ini.
Yang harus dilakukan adalah mencari terobosan-terobosan
dan teknik-teknik baru untuk memacu kemampuan atlit yang
tertinggal tadi, sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama
ia bisa mengejar rekan-rekannya yang lain.
Kurang lebih seperti itulah inti dari semangat pemihakan
kepada orang-orang asli Papua seperti yang terkandung dalam
78
UU No. 21/2001. Yang diamanatkan bukanlah diskriminasi
yang mematikan hak-hak orang-orang non-asli Papua. Yang
diberikan adalah suatu ruang legal-politik bagi terobosanterobosan
baru agar orang-orang asli Papua dapat dengan
relatif lebih cepat, dan lebih sesuai dengan kebudayaan
mereka, mengembangkan dengan baik dan bermartabat
potensi yang telah dikaruniakan Tuhan. Dengan perkataan
lain, pemihakan yang ingin dicapai adalah suatu pemihakan
yang memberdayakan, dan bukannya pemihakan yang
mengancam – baik terhadap orang-orang asli Papua sendiri
maupun terhadap orang-orang non-asli Papua.
Keberpihakan bisa menciptakan konflik apabila ada pihak
tertentu yang menikmati keistimewaan yang berlebihan, yang
karenanya mengakibatkan hak pihak lain. Sebaliknya,
keberpihakan akan menjadi sumber kebajikan yang sehat,
apabila yang diberdayakan adalah potensi yang dimiliki secara
ekslusif oleh pihak yang ingin diberdayakan, dan karenanya
tidak akan terlalu banyak merugikan hak-hak pihak yang lain.
Prinsip seperti inilah yang ingin saya usulkan kepada
pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Papua untuk
mereka pertimbangkan ketika merancang program-program
keberpihakan terhadap orang-orang asli Papua.
Ada kecenderungan bahwa upaya-upaya pemberdayaan
orang-orang asli Papua cenderung masih terbatas pada pada
hal-hal yang sifatnya urbansentris dan formal. Misalnya,
yang dipertanyakan adalah berapa banyak orang-orang asli
Papua yang diterima sebagai pegawai negeri sipil, pegawai
perusahaan-perusahaan swasta, memperoleh kesempatan
berusaha di sektor formal, dan sebagainya. Saya tidak
79
menafikan pentingnya masalah ini, sebab sebagaimana banyak
orang lain, saya pun sangat prihatin melihat sedikitnya orangorang
asli Papua terlibat dalam sektor-sektor formal tertentu.
Kita lihat saja bank-bank di Provinsi Papua, berapa banyak
orang asli Papua yang dipekerjakan? Hal yang sama dapat kita
jumpai pada banyak pekerjaan lain – bahkan, termasuk
pekerjaan yang `remeh-temeh’ dan tidak membutuhkan
ketrampilan tinggi. Tetapi yang ingin ditegaskan di sini
adalah bahwa sementara sebanyak mungkin terobosan
diupayakan agar orang-orang asli Papua dapat diserap oleh
berbagai sektor modern di daerah perkotaan, kita tidak boleh
lengah dan melupakan fakta penting bahwa ada jauh lebih
banyak orang asli Papua yang tinggal di daerah-daerah
pedesaan terpencil yang juga membutuhkan perhatian yang
sama, atau bahkan lebih. Sebab, kalau yang dimaksud dalam
pemihakan adalah hanya sekedar merebut posisi-posisi formal
saja, maka kita hanya menjawab masalah untuk sejumlah
kecil orang Papua – dan bukan keseluruhan orang-orang asli
Papua.
Yang seharusnya dilakukan segera adalah mengidentifikasi
hal-hal apa saja yang karena sifatnya memang merupakan
milik eksklusif oleh orang-orang asli Papua. Banyak pihak
sering menyebut hal ini dengan “mulai dari apa yang mereka
miliki”. Hal-hal eksklusif itulah yang kemudian dilindungi,
diberdayakan dan dikembangkan sehingga menjadi sumber
kekuatan bagi orang Papua – baik dalam pengertian ekonomi
maupun sosial-kebudayaan. Contoh paling jelas dan berhasil
dilakukan pada masa kepemimpinan Gubernur Bas Suebu di
tahun 1980-an adalah mengkhususkan penerimaan peserta
80
PIR Kelapa Sawit di Manokwari pada beberapa tahun awal
hanya untuk orang-orang asli Papua, khususnya mereka yang
berasal dari suku besar Arfak yang merupakan masyarakat
adat di mana PIR Kelapa Sawit itu dibangun. Belakangan
baru diberikan kesempatan kepada sejumlah kecil petani
transmigran asal Jawa dan Nusa Tenggara Timur. Sekarang
kita bisa menyaksikan sendiri hasil dari pemihakan tersebut.
Hampir seluruh masyarakat Arfak yang menjadi petani
plasma di PIR Kelapa Sawit Prafi telah memiliki rumahrumah
tembok permanen yang merupakan hasil dari keringat
dan kerja keras mereka sendiri.
Mestinya pendekatan pemihakan kepada orang-orang
asli Papua seperti inilah yang lebih banyak dikembangkan –
yaitu pemihakan yang memungkinkan sebanyak mungkin
orang-orang asli Papua memperoleh manfaat secara bersamasama.
MRP yang Berdaya
Pokok ketiga, adalah bagaimana menciptakan suatu MRP
(Majelis Rakyat Papua) yang berdaya. Kita harus berbangga
hati, karena hanya Provinsi Papua yang memiliki badan
seperti ini. Bukan tidak mungkin MRP akan menjadi model
bagi daerah-daerah lain di Indonesia, bahkan di banyak
bagian dunia, tentang bagaimana orang-orang asli (indigenous
people) diberdayakan dalam suatu negara modern.
Apabila diberdayakan dengan baik dan benar, maka MRP
pasti akan dapat memenuhi tugas, kewajiban dan
kewenangannya sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal
81
5 ayat 2 Undang-undang Nomor 21 tahun 2001, yaitu “…
dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan
berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya,
pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan
hidup beragama ...”. Sebaliknya, apabila MRP tidak
diberdayakan, atau tidak memberdayakan diri, maka
kekuatiran masyarakat bahwa lembaga ini tidak lebih dari
stempel karet pemerintah dan DPRP akan benar-benar
terjadi.
Ada dua hal praktis yang bisa dan harus dilakukan
sekarang. Pertama, perlu dilakukan lobi terus menerus ke
pemerintah pusat sehingga Rancangan Peraturan Pemerintah
mengenai MRP yang telah dimasukkan sejak pertengahan
tahun 2002 disahkan dan diserahkan kembali ke Provinsi
Papua. Kedua, hendaknya berbagai elemen masyarakat adat,
agama dan perempuan segera memulai dan/atau melanjutkan
proses diskusi untuk dapat menyepakati bagaimana caranya
memilih wakil-wakil mereka secara demokratis. Masyarakat
adat, agama, dan perempuan Papua harus memanfaatkan
peluang ini dengan sebaik-baiknya. Apabila MRP bisa
dibentuk dengan baik dan benar, dan anggota-anggotanya
adalah orang-orang yang representatif, memiliki kapabilitas
dan berintegritas tinggi, maka inilah titik awal dari suatu
proses di mana orang-orang asli Papua sungguh-sungguh
menjadi tuan di tanahnya sendiri. Ketiga persyaratan itulah
yang ingin didiskusikan lebih lanjut.
Representasi berarti keterwakilan – yaitu setiap anggota
MRP harus memiliki konstituen yang jelas. Anggota MRP
tidak mewakili partai politik. Wakil-wakil partai politik
82
tempatnya di DPR Provinsi maupun DPR Kabupaten/Kota.
MRP mewakili orang-orang asli Papua dan bertanggung
jawab mewujudkan perlindungan dan pengembangan hakhak
orang-orang asli Papua. Karena itu, harus dihindari
seawal mungkin adanya anggota MRP yang tidak jelas
keterwakilannya. Ia harus dikenal oleh, dan mengenal
dengan baik, konstituennya (rakyat yang diwakilinya). Lebih
dari pada itu, ia harus terus berupaya untuk menjaga agar
hubungan dengan konstituennya itu terus menerus
ditingkatkan. Hal-hal praktis yang bisa dilakukan di
antaranya adalah bahwa setiap anggota MRP harus berupaya
untuk sering kembali ke daerah/komunitas darimana ia
berasal agar dapat terus merasakan dan menjiwai pergumulan
masyarakat yang diwakilinya, dan bukannya lebih banyak
melancong di Jayapura, Jakarta atau kota-kota besar lain di
nusantara ini, atau bahkan di luar negeri.
Soal kapabilitas mengacu pada penguasaan kemampuan
teknis. Seorang anggota MRP tidak cukup berbekal status
sebagai seorang wakil masyarakat. Menjadi anggota MRP
berarti bahwa seseorang itu paling tidak harus juga memiliki
kemampuan-kemampuan berikut ini:
· Memahami dengan baik masalah, tantangan dan peluang
pembangunan orang-orang asli Papua dalam kaitannya
dengan konteks sosial-politik lokal, nasional dan global,
sehingga mampu dengan seksama menguji Rancangan-
Rancangan Perdasus yang dimasukkan oleh DPR dan
Gubernur. Hanya dengan memiliki kemampuan seperti
ini MRP bisa dengan tepat dan taktis menerima, menolak,
83
atau meminta Rancangan Perdasus yang dimasukkan itu
diperbaiki.
· Memiliki kemampuan berdiplomasi dan berintegritas,
terutama ketika harus membahas hal-hal sensitif, seperti
soal lambang-lambang Provinsi Papua (bendera dan lagu),
penyelesaian masalah-masalah HAM, klarifikasi sejarah
Papua dalam NKRI, perlindungan dan penghargaan
terhadap hak-hak masyarakat adat, perlindungan HAM,
pelaksanaan kewenangan-kewenangan pemerintah pusat
di Papua dengan kekhususan, dan sebagainya.
· Mampu untuk memahami arti dan implikasi angka-angka
yang tertera dalam rancangan anggaran yang diajukan
oleh DPRP dan Gubernur, terutama untuk memastikan
bahwa rancangan anggaran tersebut benar-benar sesuai
dengan amanat UU No. 21/2001, yang di antaranya adalah
untuk memberdayakan status sosial-ekonomi dan
memantapkan kebudayaan orang-orang asli Papua, serta
penyelesaian berbagai masalah di waktu lalu.
· Mampu untuk mendengarkan, menampung dan
mengolah masukan, saran, keluhan, bahkan protes yang
disampaikan oleh para konstituen untuk diteruskan ke
pihak-pihak yang berkompeten, dan memastikan bahwa
hal-hal tersebut benar-benar ditindaklanjuti. Selain itu,
setiap anggota MPR harus mampu pula untuk
menjelaskan dengan baik dan benar setiap keputusan
yang diambil sehingga rakyat sungguh-sungguh merasa
bahwa suara mereka telah didengar, dan bahwa mereka
secara substansial dilibatkan dalam setiap proses
84
pengambilan keputusan yang berdampak pada kehidupan
mereka.
Selain persyaratan representasi dan kapabilitas, maka
kualifikasi terakhir yang harus dimiliki oleh setiap anggota
MRP adalah integritas diri yang kukuh. Rakyat Papua
menginginkan para anggota MRP bebas dari korupsi, kolusi
dan nepotisme. Rakyat berharap bahwa kepentingan
merekalah yang akan selalu menjadi kepentingan anggota
MRP, dan bukan sebaliknya. Lebih dari itu, setiap anggota
MRP haruslah menjadi suri teladan bagi seluruh rakyat
Papua, baik dalam statusnya sebagai tokoh publik maupun
dalam kehidupan pribadi dan keluarganya.
Apakah persyaratan-persyaratan yang dikemukakan di
atas berarti bahwa menuntut terlalu banyak dari seorang
anggota MRP? Semestinya tidak, karena itulah alasannya
mengapa yang menjadi anggota MRP adalah wakil-wakil
adat, wakil-wakil perempuan, dan wakil-wakil agama. Para
wakil adat diharapkan dapat memberikan pemahaman
tentang apa yang sebetulnya menjadi pergumulan masyarakat
Papua yang selama ini terpinggirkan, yang nota-bene adalah
masyarakat adat, dan cara-cara apa yang seyogyanya
ditempuh untuk menjawab pergumulan tersebut sesuai
dengan nilai-nilai budaya Papua. Para wakil perempuan
diharapkan bisa berbicara dari hati nurani dan mengangkat
berbagai masalah yang selama ini luput dari penilaian kaum
laki-laki. Para wakil agama diharapkan dapat memberikan
panduan moral dan spiritual dalam setiap keputusan yang
diambil dan berdampak terhadap orang-orang asli Papua,
bahkan seluruh penduduk provinsi Papua.
85
Pemberdayaan Masyarakat dan Kelembagaan Adat
Pokok yang berikut, adalah soal pentingnya
memberdayakan masyarakat adat dan memperkuat
kelembagaan-kelembagaan adat Papua. Ini soal yang sangat
penting paling tidak karena dua alasan. Pertama, UU No.
21/2001 secara serius menempatkan posisi masyarakat adat
Papua dan hak-haknya pada tempat yang layak. Kedua, tidak
ada satu orang asli Papua pun, termasuk mereka yang hidup
di kota-kota dan memiliki pendidikan dan status sosial yang
tinggi, yang bukan anggota masyarakat adat. Artinya,
persoalan masyarakat adat adalah persoalan seluruh orang asli
Papua. Adat-istiadat Papua adalah jati diri dan identitas kepapua-
an itu sendiri. Dengan demikian, tanggung jawab
pelestarian adat itu sudah barang tentu ada pada masyarakat
adat dan kelembagaan adatnya, dan harus merupakan
pergumulan semua orang asli Papua.
Karena itu sudah saatnya sekarang lembaga-lembaga adat
membebaskan diri dari kooptasi pihak mana pun dan
sungguh-sungguh menjadi badan yang melindungi dan
memperjuangkan anggotanya. Lembaga adat seperti ini
hanya bisa berfungsi apabila ia betul-betul: (1) diakui oleh
dan merepresentasi anggotanya; (2) memiliki wibawa dan
karisma sehingga dihargai oleh anggotanya dan mampu
mengatur berbagai urusan adat; (3) rapi administrasi dan
tinggi kapabilitasnya sehingga bisa bernegosiasi dengan baik
dengan pihak luar; dan (4) memperjuangkan persoalan86
persoalan hakiki yang menjadi pergumulan sebagian terbesar
anggotanya.
Khusus mengenai tantangan yang dihadapi oleh
masyarakat adat dan lembaga-lembaganya di Papua pada
masa sekarang, ada baiknya dikutip hasil penelitian Howard,
McGibbon dan Simonviii pada bulan November sampai
Desember 2001 di berbagai tempat di Papua sebagai berikut:
Masyarakat adat di berbagai tempat di Papua sekarang
terlibat dalam pengambilan keputusan mengenai
pembangunan dan kemajuan masyarakat, dan karena
itu mereka membutuhkan suatu visi yang dapat
diterapkan pada konteks politik riil di mana mereka
berada. Atas dasar fakta tersebut, adalah penting
untuk mempertimbangkan sejauh mana struktur dan
kompleksitas sistem-sistem politik tradisional dapat
memungkinkan, atau [sebaliknya] membatasi,
efektivitas suatu kelompok masyarakat adat dalam
konteks masa kini. (halaman 8, terjemahan oleh saya)
Kutipan ini pada dasarnya menekankan tentang pentingnya
kelompok-kelompok masyarakat adat di Papua untuk
menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan akibat
modernisasi, tetapi tanpa harus mengkrompomikan nilai-nilai
luhur yang dianutnya.
Khusus mengenai langkah praktis yang dapat dilakukan
untuk menata administrasi dan melengkapi staf lembagalembaga
adat di Papua, saya mengusulkan agar para pegawai
negeri yang berlebihan di tingkat provinsi atau
87
kabupaten/kota di Papua (lihat catatan akhir nomor vi pada
bab ini) dialokasikan untuk bekerja di kantor-kantor lembaga
masyarakat adat. Penting untuk ditekankan di sini adalah
bahwa para pegawai negeri itu hanya menjadi pegawai pada
kantor Lembaga Masyarakat Adat (LMA), dan bukan
memimpin LMA tersebut. Semua kebijakan dan
operasionalisasi kegiatan LMA sehari-hari harus ditentukan
dan dijalankan oleh para pimpinan dan anggota masyarakat
adat itu sendiri. Para pegawai negeri yang diperbantukan di
LMA hanya melaksanakan tugas-tugas administratif sesuai
arahan para pimpinan LMA. Bahkan, untuk mencegah
kooptasi, sebaiknya pimpinan dan anggota LMA-lah yang
mengusulkan kepada pemerintah tentang pegawai negeri
siapa yang ingin direkrutnya untuk menjadi staf administrasi
di LMA mereka.
Apabila gagasan ini diterima, saya yakin pasti banyak di
antara para pegawai negeri di Papua yang akan dengan
senang hati memilih opsi ini, yakni bekerja di kampung
(baca: lembaga masyarakat adat) sendiri. Cara seperti ini
akan memberikan manfaat ganda: administrasi lembagalembaga
masyarakat adat terperbaiki, lembaga-lembaga
masyarakat adat tidak perlu mengeluarkan ongkos untuk
menggaji para pegawai negeri ini karena sudah dibayar oleh
pemerintah provinsi atau kabupaten/kota, dan soal
pengangguran tak kentara bisa mulai dipecahkan. Sudah
barang tentu diperlukan pengaturan mengenai sistem
promosi bagi si pegawai negeri tersebut, sehingga ia tetap
berpeluang untuk mengembangkan kariernya di tempat lain.
Selain itu, diperlukan pula pemantauan dan pengawasan yang
88
jelas dan tegas, sehingga pengangguran tidak kentara di
kalangan pegawai negeri di Papua yang ingin dipecahkan
dengan cara ini tidak justru berkembang menjadi
pengangguran total di kampung masing-masing.
Konsultasi Stakeholder
Pokok kelima adalah soal pentingnya pemerintah,
parlemen, dan MRP, melakukan konsultasi stakeholder
dalam proses pengambilan keputusan-keputusan yang
menyangkut kehidupan rakyat banyak. Apa itu stakeholder,
atau lebih tepat: siapakah stakeholder itu? Stakeholder
adalah mereka yang berkepentingan dengan suatu
kebijakan/program/kegiatan publik tertentu. Para
stakeholder itu dapat dikelompokkan menjadi dua:
stakeholder primer dan stakeholder sekunder. Stakeholder
primer adalah mereka yang langsung didampaki oleh, atau
terkait langsung dengan, program tertentu. Stakeholder
sekunder adalah mereka yang tidak didampaki atau terkait
secara langsung, tetapi memiliki peranan atau kemampuan
untuk membantu dalam proses pemecahan masalah dan
pengambilan keputusan. Di Papua dibutuhkan konsultasi
dengan stakeholder primer maupun sekunderix.
Perlu ditekankan di sini, bahwa bahwa konsultasi
stakeholder sebenarnya hanyalah istilah modern untuk
proses musyawarah yang sudah menjadi bagian dari tradisi
dan adat istiadat orang Papua turun temurun. Masyarakat
Papua pada dasarnya adalah masyarakat egaliter dan
demokratis – dan karenanya adalah hal yang wajar apabila
89
pengambilan keputusan ketika mereka berada dalam alam
modern pun harus mencerminkan semangat egalitarian dan
demokrasi yang masih terus dipegang hingga saat ini.
Sayangnya, ada tanda-tanda bahwa konsultasi stakeholder ini
mulai diabaikan justru ketika Otsus baru mulai dilaksanakan.
Kiranya tidak terlalu terlambat untuk memperbaiki hal ini.
Dalam pada itu, kita juga harus berhati-hati sehingga
konsultasi stakeholder tidak berkembang menjadi suatu ritus
sosial-politik yang hanya punya nama mentereng tetapi tidak
punya substansi yang membawa kemaslahatan. Apa yang
bisa dilakukan?
Salah satu syarat paling mendasar agar konsultasi yang
setara dan sebenarnya dapat dilakukan adalah memastikan
bahwa semua stakeholder memiliki akses yang sama ke
sumber-sumber informasi. Hal inilah yang harus diwujudkan
dalam era Otsus di Papua apabila posisi rakyat benar-benar
ingin diberdayakan. Semua dokumen publik harus dapat
diakses oleh masyarakat dengan mudah – dan apabila ada
kelompok masyarakat yang karena rendahnya pendidikan
sulit memahami informasi tertulis, maka adalah kewajiban
pemerintah (termasuk dengan meminta bantuan LSM-LSM)
untuk menyederhanakan informasi tersebut dalam bentuk
lain agar dapat dipahami selengkap mungkin oleh masyarakat
(Khusus mengenai manfaat akses ke informasi sebagai
prasyarat pengawasan dapat dibaca dalam sub-bab mengenai
pengawasan dalam Bab ini).
Selain akses masyarakat ke informasi, konsultasi
stakeholder perlu diinstitusikan sebagai suatu kewajiban yang
harus dilaksanakan oleh setiap instansi pemerintah. Hal ini
90
penting untuk merangsang, bahkan memaksa, setiap
pimpinan instansi agar bersedia berbicara dan mendengar
masyarakat. Dan, cara yang paling efektif adalah dengan
mengaturnya dalam bentuk Peraturan Daerah (entah
Perdasus atau Perdasi), untuk kemudian diimplementasikan
melalui Keputusan Gubernur atau Bupati/Walikota.
Pimpinan instansi yang tidak atau gagal melaksanakan
konsultasi stakeholder secara benar, pada dasarnya tidak
layak untuk menjadi pemimpin dalam era Otsus Papua,
karena ia jelas-jelas tidak mau mendengarkan rakyat yang
seharusnya ia layani dengan baik.
Banyak cara yang bisa digunakan. Konsultasi stakeholder
bisa dilakukan dalam bentuk rapat dengan mengundang para
stakeholder ke kantor pemerintah. Bisa juga melalui dialog
interaktif di pusat-pusat pertemuan masyarakat (seperti di
rumah ibadah, balai-balai desa, gedung-gedung pertemuan,
pasar, dan sebagainya). Cara lain yang murah, walaupun agak
terbatas jangkauannya, adalah dengan melakukan dialog
interaktif di radio. Akan sangat baik dan menolong apabila
setiap instansi sebelum, sementara, dan pada akhir
pelaksanaan tugasnya melakukan dialog interaktif dengan
rakyat, sehingga instansi tersebut dapat mendengar langsung
apa masalah dan harapan yang dimiliki oleh rakyat.
Prioritas Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan
Hal berikut adalah prioritas pelaksanaan pemerintahan
dan pembangunan. Hal ini sangat terkait dengan soal
anggaran pembangunan yang telah dibahas sebelumnya.
91
Saya juga telah menjelaskan program-program apa saja yang
harus diperhatikan sejak awal karena justru merupakan
persoalan-persoalan mendasar rakyat Papua sehingga
mengakibatkan Otsus Papua diberlakukan (lihat sub-bab
“Pendahuluan: Telaah Struktur ABPD” pada Bab 3).
Perlu kiranya ditekankan sekali lagi, bahwa wujud paling
nyata dari pelaksanaan Otsus adalah seberapa jauh
pelaksanaan program pemerintahan dan pembangunan di
Provinsi Papua benar-benar mengejawantahkan isi UU No.
21/2001, serta membawa dampak positif yang signifikan
sampai ke rakyat di tingkat yang paling bawah dan paling
terpencil. Karena itu, penting bahwa semua program
pemerintahan dan pembangunan dalam era Otsus Papua
dijalankan dengan berpedoman pada Undang-undang Nomor
21/2001 secara konsekuen. Untuk menjaring dan
mengidentifikasi program dan kegiatan yang paling
mendesak untuk dilakukan (dan karenanya harus ditetapkan
sebagai prioritas) tidak bisa dengan cara lain kecuali melalui
konsultasi stakeholder sebagaimana yang sudah dikemukakan
dalam sub-bab terdahulu.
Pengawasan
Ada pepatah asing yang mengatakan: “Power Tends to
Corrupt, Absolute Power Corrupts Absolutely”. Pepatah ini
mengandung kata-kata bijaksana yang penting. Selama kita
masih berada di dunia, selama itu pula selalu terjadi
kecenderungan penyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan
(power) terhadap publik oleh sekelompok orang (baca:
92
birokrat dan politisi). Sejak reformasi berlangsung di
Indonesia, kita jarang mendengar penuturan tentang
birokrasi yang benar-benar mengutamakan kepentingan
rakyat. Yang lebih sering kita dengar adalah birokrasi yang
tidak efisien dan korup. Demikian halnya dengan para
politisi. Karena itulah pengawasan harus menjadi bagian
integral dari keseluruhan penyelenggaraan Otsus di Provinsi
Papua. Dan rakyat, melalui pengawasan sosialnya, memiliki
kekuatan yang sangat penting untuk itu.
Otsus juga berarti transparansi. Sudah bukan saatnya lagi
ada dokumen pembangunan yang hanya menjadi rahasia
pihak tertentu. Semestinya setiap kali anggaran disahkan,
entah anggaran di tingkat provinsi atau kabupaten/kota,
semua dokumen yang terkait dengan rencana penggunaan
anggaran tersebut, baik anggaran rutin maupun
pembangunan, disebarluaskan kepada berbagai lapisan
masyarakat, dan bukannya dibiarkan tertumpuk di kantorkantor
pemerintah. Kalau masyarakat memiliki dokumen
seperti itu, mereka pasti bisa melakukan pengawasan secara
baik sehingga tujuan Otsus dapat dicapai dengan lebih baik
pula.
Salah satu langkah kecil yang semestinya menjadi
keharusan dalam era Otsus ini adalah agar setiap proyek
pembangunan, apalagi yang pendanaannya jelas-jelas berasal
dari sumber pendanaan Otsus, harus dilengkapi dengan papan
informasi yang berisi tentang apa yang akan dibangun –
termasuk spesifikasinya, siapa pelaksananya, siapa yang akan
memperoleh manfaat dan berapa orang, berapa biaya yang
digunakan, kapan dimulai, kapan selesai, dan kepada siapa
93
rakyat dapat menyampaikan pengaduannya apabila ditemui
kesalahan dalam pelaksanaan proyek tersebut.
Salah satu cara lain adalah dengan membentuk apa yang
disebut dan dibentuk oleh teman-teman pegiat LSM di
Manokwari sebagai FIP3: Forum Independen Pemantau
Pelaksana Pembangunan. Salah satu gagasan yang dimiliki
adalah dengan membuat kuesioner-kuesioner yang disebar
sampai ke tingkat kampung. Kuesioner-kuesioner ini tidak
dibuat seragam, tetapi dikembangkan spesifik untuk setiap
proyek yang dilaksanakan di kampung tersebut. Kuesioner
spesifik tersebut dibuat sesederhana mungkin, sehingga siapa
pun di kampung, sepanjang ia bisa membaca dan menulis,
bisa mengisi kuesioner tersebut.
Data-data yang diperoleh dari pengisian kuesioner itu
kemudian dikompilasi dan dikelompok-kelompokkan, dan
seterusnya disusun dalam bentuk dokumen untuk dilaporkan
ke publik, pemerintah, dan parlemen, termasuk MRP.
Manfaatnya adalah selain untuk pengontrolan, juga
merupakan masukan yang sangat berharga dan orisinal
(karena berasal langsung dari masyarakat) bagi perbaikan
pelaksanaan kegiatan pembangunan di masa mendatang.
Jangan Pernah Berhenti Berdialog
Akhirnya, saya ingin menyatakan bahwa UU No.
21/2001 pada dasarnya berisi ajakan bagi semua pihak untuk
terus mengupayakan dialog. Salah satu bagian dari
Penjelasan Umum undang-undang itu berbunyi begini,
94
“… [P]enetapan suatu undang-undang otonomi khusus
bagi Provinsi Irian Jaya dengan memperhatikan aspirasi
masyarakat … merupakan suatu langkah awal yang
positif dalam rangka membangun kepercayaan rakyat
kepada Pemerintah, sekaligus merupakan langkah
strategis untuk meletakkan kerangka dasar yang kukuh
bagi berbagai upaya yang perlu dilakukan demi tuntasnya
penyelesaian masalah-masalah di Provinsi Papua …”
(garis bawah oleh saya sebagai penekanan)
Dengan perkataan lain, Undang-undang Nomor 21 tahun
2001 sendiri mengakui tentang keterbatasan yang dimilikinya.
Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 barulah suatu langkah
awal. Tetapi, langkah itu adalah langkah penting, karena
suatu dasar yang kukuh harus bisa diletakkan untuk
melaksanakan berbagai upaya agar masalah-masalah Papua
bisa diselesaikan secara bermartabat. Kerangka dasar ini tidak
bisa diletakkan oleh pemerintah sendiri. Karena masalahmasalah
yang harus diselesaikan adalah masalah-masalah
rakyat, maka rakyat harus dilibatkan di dalam pembuatan dan
peletakan kerangka dasar itu. Itu sebabnya, dialog menjadi
sangat penting: dialog sebagai bagian integral dari upaya
peletakkan kerangka dasar itu, dan dialog sebagai metoda
untuk menyelesaikan masalah ketika kerangka dasar itu telah
benar-benar kukuh dibangun.
Karena itu, dialog tidak akan pernah menghasilkan
apa-apa tanpa ada kesediaan salah satu pihak untuk
menganggap pihak lain sebagai mitra yang setara. Dialog
mensyaratkan para pihak untuk salingmendengar pendapat,
95
salingmenghargai gagasan, dan salingmenghargai pergumulan.
Dialog yang sejati hanya akan ada apabila ada rasa percaya
yang tercipta antarpihak tersebut. Dialog yang sejati hanya
akan memberikan hasil yang menolong semua pihak apabila
terjadi antarkawan, antarsahabat, dan bukan antarmusuh. Di
sinilah pentingnya negara, yang diwakili oleh
penyelenggaranya, yaitu pemerintah baik di pusat maupun di
daerah Papua sendiri, untuk menganggap rakyat Papua
sebagai mitra yang sejajar dan tidak lagi sebagai subordinat
seperti di waktu lalu.
Catatan akhir:
i Mudarat berarti sesuatu yang tidak menguntungkan; rugi; kerugian;
tidak berhasil; gagal; merugikan; tidak berguna.
ii Menurut badan dunia ESCAP, pemerintahan yang baik (good governance)
memiliki 8 (delapan) ciri utama, yaitu: partisipatif, berorientasi pada
konsensus, akuntabel, transparan, responsif, efektif dan efisien, merata,
inklusif, dan tunduk pada hukum. Pemerintahan yang baik akan selalu
berusaha untuk menekan semua bentuk korupsi sekecil mungkin. Selain
itu, pandangan mereka yang minoritas pun diperhatikan, dan suara
mereka yang paling rentan (paling tertindas, paling termarginalisasi,
paling terisolir) pun didengar. Pemerintahan yang baik bersikap
responsive terhadap kebutuhan masyarakat pada masa sekarang dan
masa akan datang. Lebih jauh mengenai topik ini, kunjungi situs
http://www.unescap.org/huset/gg/governance.htm).
iii Pendapat Max Weber ini dapat dijumpai pada banyak buku teks yang
membahas tentang Teori Birokrasi. Tetapi, untuk mereka yang ingin
mempunyai gambaran awal, saya sarankan untuk membaca buku
karangan Anthony Giddens yang berjudul Sociology, terbitan tahun 1989,
oleh Polity Press, khususnya topik `Bureaucracy’ pada halaman 277
sampai 282.
96
iv Dalam ilmu sosial keadaan ini disebut disguised unemployment, atau
pengangguran tak kentara, yang justru memberikan beban sosial kepada
masyarakat yang jauh lebih besar daripada pengangguran yang
sebenarnya. Masalahnya, masyarakat harus terus menerus membiayai
para penganggur tak kentara di birokrasi ini dengan berbagai pajak dan
non-pajak yang ditarik pemerintah. Itu sebabnya sering ada kritik bahwa
birokrasi kita sebaiknya tidak tambun. Tabel berikut memberikan contoh
mengenai hal ini.
Contoh Instansi Belanja Gaji & Tunjangan (Rp)
Rumah Sakit Umum Daerah,
Abepura
2.048.125.000
Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi
Papua
10.650.569.000
Sumber: RAPBD Provinsi Papua 2001
Tabel di atas memberikan gambaran yang menarik. Di satu pihak, ada
instansi yang 24 jam setiap hari harus memberikan pelayanan intensif
kepada ratusan anggota masyarakat, tetapi hanya membelanjakan sekitar
2 milyar rupiah setahun untuk membayar gaji dan tunjangan lain bagi
pegawai-pegawainya yang berjumlah 156 orang. Tetapi, di lain pihak,
ada instansi lain yang membelanjakan lebih dari 10 setengah milyar
rupiah setahun untuk keperluan gaji dan tunjangan lain dari 555 orang
pegawainya, walaupun cakupan pelayanan instansi tersebut kepada
masyarakat luas di seluruh Papua pada dasarnya terbatas. Kesimpulan
apa yang bisa diambil dari fenomena ini? Yaitu bahwa pasti sementara
terjadi pengangguran tidak kentara pada instansi yang menghabiskan
lebih dari 10 setengah milyar rupiah tersebut. Hal ini tidak saja menjadi
persoalan Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Papua, tetapi saya yakin
terjadi pula di banyak instansi pemerintah di tingkat Provinsi maupun
kabupaten/kota.
v Kecurigaan seperti ini kadang-kadang sulit dibantah kalau kita
mengkritisi anggaran pemerintah. Contohnya, alokasi anggaran untuk
pembelian komputer jenis PC yang tertera dalam RAPBD Pemerintah
97
Provinsi Papua pada tahun 2002. Ada instansi yang mengalokasikan Rp
26 juta untuk membeli satu set komputer. Anehnya, instansi yang sama
ini juga mengalokasikan Rp 34 juta untuk satu buah komputer pada
proyek lainnya. Padahal, sebetulnya dengan sekitar 15 juta rupiah bisa
diperoleh satu unit komputer lengkap (sudah dilengkapi dengan modem
dan CD-Writer) plus printer, scanner, dan ongkos kirim. Bagaimana kalau
yang direncanakan untuk dibeli adalah alat-alat yang harganya ratusan
juta atau miliaran rupiah – berapa besar selisih anggaran yang
dialokasikan dari harga alat yang sebenarnya? Mungkin, ada benarnya
sinyalemen Prof. Sumitor Djojohadikoesoemo, bahwa 1/3 (sepertiga)
dari anggaran pembangunan kita habis dikorupsi oleh birokrasi.
vi Bab ini dibagi ke dalam empat bagian, yaitu: (1) Umum, (2) Badan
Legislatif, (3) Badan Eksekutif, dan (4) Majelis Rakyat Papua. Karena itu
kurang tepat anggapan sementara pihak bahwa MRP tidak memiliki
posisi yang signifikan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi
Papua. Tentang adanya kekuatiran bahwa para anggota MRP nanti
mungkin tidak mampu berfungsi efektif menjalankan tugas-tugas yang
diamanatkan rakyat Papua dan undang-undang kepadanya adalah suatu
concern yang legitimate, suatu keprihatinan yang masuk akal (baca misalnya
tulisan Bruder Theo van der Broek yang berjudul Mengatasi Keterpecahan
yang Melumpuhkan, yang diterbitkan pada tahun 2002 oleh Sekretariat
Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura dan Lembaga Studi Pers
dan Pembangunan). Concern seperti ini juga sama legitimate-nya ketika
ditujukan ke eksekutif dan DPRP. Tetapi, yang jelas MRP adalah bagian
dari pemerintahan resmi di Provinsi Papua. Karena itu, adalah tugas
semua pihak untuk mengusahakan agar MRP tidak menjadi stempel
karet, tetapi benar-benar mampu dan efektif dalam melindungi hak-hak
orang asli Papua sebagaimana yang diamanatkan undang-undang
kepadanya.
vii Untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap, baca Sambutan dan
Pengarahan Gubernur Provinsi Papua pada tanggal 21 Januari 2002,
yang disampaikan kepada para pejabat tingkat Provinsi, Kabupaten dan
Kota se Provinsi Papua dalam acara Sosialisasi Undang-undang Nomor
21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
98
viii Lebih jauh, baca Howard R., McGibbon R., dan Simon, J. 2001.
Resistance, Recovery, Reempowerment: Adat Institutions in Contemporary Papua.
Jakarta: CSSP dan USAID/Indonesia
ix Untuk mengetahui lebih jauh tentang apa itu stakeholder, konsultasi
stakeholder, dan peranannya dalam pemerintahan dan pembangunan, serta
bagaimana mengidentifikasi stakeholder, baca tulisan Kathleen Slattery
yang berjudul A Strategic Framework for Stakeholder Consultation and
Communication: The ISPE™ Methodology, dapat diakses di
http://www.ip3.org/publication2002_009.htm
99
6
SOAL INPRES NOMOR 1 TAHUN 2003
Pada tanggal 27 Januari 2003 Presiden Megawati
Soekarnoputri mengeluarkan Instruksi Nomor 1 tahun 2003
tentang Percepatan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 45
tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya
Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai,
Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota
Sorong. Instruksi Presiden (Inpres) ini langsung memicu
reaksi, baik di Papua maupun di tingkat nasional. Ada yang
menerimanya dengan sukacita, tetapi tidak sedikit yang
menolaknya. Hampir tidak ada hari selama bulan Februari
dan Maret 2003 di mana soal Inpres 1/2003 ini tidak
diperdebatkan di media massai.
Bagi mereka yang bersikap pro, pembentukan provinsiprovinsi
baru melalui Inpres 1/2003 dianggap terobosan dan
cara jitu untuk mendekatkan pelayanan pemerintah kepada
masyarakatii. Kesejahteraan masyarakat dengan demikian
akan meningkat. Tetapi bagi yang kontra, Inpres 1/2003
dianggap melecehkan UU No. 21/2001 tentang Otsus Provinsi
Papuaiii. Masalahnya, sesuai pasal 76 UU No. 21/2001, untuk
membentuk provinsi-provinsi baru terlebih dahulu harus
diperoleh persetujuan dari MRP dan DPRP. Padahal MRP
hingga saat ini masih belum bisa dibentuk karena pemerintah
pusat masih belum mengeluarkan peraturan pemerintah (PP),
walaupun draf PP tersebut sudah dimasukkan oleh
pemerintah Provinsi Papua sejak bulan Juli 2002. Bahkan
100
tidak sedikit yang berpendapat bahwa dikeluarkannya Inpres
1/2003 adalah upaya terselubung untuk memandulkan
pelaksanaan Otsus Papua. Pasalnya, begitu Provinsi Papua
terpecah menjadi tiga provinsi dengan “Irian Jaya” diadopsi
kembali sebagai prefiks nama provinsi-provinsi baru itu,
maka otomatis objek UU No. 21/2001 menjadi kabur. Pada
saat itu praktis sudah tidak ada lagi Provinsi Papua. Dan
ketika ada rakyat Papua yang berusaha memperjuangkan
hak-haknya sesuai isi UU No. 21/2001, bukan tidak mungkin
jawaban yang diperoleh adalah, “Maaf, sekarang sudah tidak
ada lagi Provinsi Papua. Karena itu, kami tidak perlu tunduk
pada ketentuan-ketentuan di dalam UU Otsus Papua!”
Status Pasal-pasal Tertentu UU No. 45/1999 menurut UU No.
21/2001
Argumen yang biasa digunakan oleh pemerintah pusat
adalah bahwa pembentukan provinsi Irian Jaya Barat dan
Irian Jaya Tengah tidak perlu tunduk kepada UU No. 21/2001
karena pembentukan provinsi-provinsi itu sudah lebih
dahulu diatur dalam UU No. 45/1999iv. Dengan perkataan
lain, pembentukan provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya
Tengah sebagaimana yang diinstruksikan untuk dipercepat
sesuai Inpres No. 1/2003 tidak perlu menunggu rekomendasi
MRP dan DPRP. Lain halnya apabila masih ada provinsiprovinsi
lain yang perlu dibentuk di luar Provinsi Irian Jaya
Barat dan Irian Jaya Tengah. Pada keadaan seperti itulah
baru diperlukan pertimbangan MRP dan DPRP. Tetapi,
tepatkah argumentasi seperti itu?
101
Menurut saya, pertanyaan mendasar yang perlu terlebih
dahulu dijawab adalah bagaimana status UU No. 45/1999
dengan berlakunya UU No. 21/2001? Salah satu langkah
yang seharusnya dilakukan, tetapi sayangnya tidak pernah
muncul dalam berbagai perdebatan mengenai status UU No.
45/1999 selama ini, adalah dengan mempelajari catatancatatan
resmi proses pembahasan RUU tentang Otsus bagi
Provinsi Papua di DPR RI untuk memeriksa apakah status
UU No. 45/1999 juga dibicarakan, dan apakah ada
kesepakatan tertentu yang diambil oleh pihak DPR RI dan
pemerintah pusat mengenai UU tersebut.
Risalah pembahasan RUU Otsus Papua menunjukkan
bahwa status UU No. 45/1999 dibicarakan pada Rapat ke-8
Pansus DPR RI tentang Otsus Papua, yang berlangsung pada
hari Sabtu 20 Oktober 2001, dari jam 14:00 WIB sampai 22:30
WIB di Ruang Rapat Pansus D Gedung Nusantara II DPR RI.
Rapat itu dipimpin oleh Drs. Ferry Mursyidan Baldan, dan
dihadiri oleh 21 dari 50 orang anggota Panitia Kerja Pansus
DPR RI, dan para pejabat eselon I interdepartemen dan staf
mewakili pemerintah pusat.
Sebagaimana tertera dalam risalahv rapat ke-8 itu, Drs.
Antonius Rahail dari Fraksi KKI mengusulkan agar
dimasukkan suatu klausul, bahwa dengan berlakunya UU
Otsus Papua maka
“… UU No. 45 tahun 1999 (Lembaran Negara Nomor 173)
dan UU Nomor 5 tahun 2000 (Lembaran Negara Nomor
72) dinyatakan tidak berlaku kecuali ketentuan-ketentuan
mengenai pembentukan Kabupaten Painie [sic],
102
Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan
Kabupaten Sorong …” (halaman 1206).
Tetapi Prof. Dr. Abdul Gani, S.H., Dirjen Peraturan
Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan HAM
yang mewakili pemerintah pusat, menganggap bahwa usulan
itu tidak perlu dimasukkan secara eksplisit ke dalam UU
Otsus Papua, karena sudah terpenuhi secara otomatis.
Selengkapnya Prof. Dr. Abdul Gani, S.H. menyatakan,
“… [Yang] kita bicarakan ini memang menyangkut nasib
orang, nasib daerah, [dan hal-hal] yang lainnya, dan
[karena itu kita] harus lebih arif … Kalau kita lihat apa
yang sudah ditentukan, maka tanpa disebut secara
eksklusif[pun] apa yang ada di dalam Undang-Undang
Nomor 45 tahun 1999 itu sudah tereduksi dengan
ketentuan umum tanpa [perlu] diatur sedikitpun. Artinya,
banyak ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 45
tahun 1999 itu yang sudah tidak berlaku lagi dan sudah
diatur di sini. … [M]aka Provinsi yang lain itu sudah
dianggap tidak ada oleh undang-undang ini.” (halaman
1207).
Risalah menunjukkan bahwa pendapat Prof. Dr. Abdul Gani,
S.H. itu didukung oleh Ketua Pansus Sabam Sirait (halaman
1208). Untuk memastikan bahwa pasal-pasal tertentu UU
No. 45/1999 tidak akan menjadi masalah di kemudian hari,
Drs. Antonius Rahail menyatakan,
103
“… [P]ada malam hari ini … [kita sudah] mendengar
penjelasan dari Pemerintah, [dan] pada dasarnya kita
sudah sejalan, sudah sependapat sikap kita terhadap
Undang-undang Nomor 45 tahun 1999 …” (halaman
1208).
Pasal 76 UU No. 21/2001 versus Keengganan Membentuk
MRP
Apabila risalah pembahasan UU No. 21/2001 dipelajari
dengan seksama, mestinya Inpres No. 1/2003 tidak akan
diterbitkan. Dan, kalau pemerintah pusat memang
berkepentingan dengan pemekaran Provinsi Papua, maka
seharusnya yang dipercepat adalah proses pembahasan dan
pengesahan Rancangan Peraturan Pemerintah mengenai
Pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP), sehingga gagasan
pemekaran provinsi Papua dapat dibicarakan secara
partisipatif dan demokratis oleh rakyat Papua sendiri dengan
dasar pasal 76 UU No. 21/2001.
Tetapi, justru yang muncul di media massa adalah
keengganan pemerintah pusat membentuk MRP sesegera
mungkin dengan berbagai alasan. Salah satu alasan yang
menonjol adalah kekuatiran bahwa MRP akan menjadi super
body yang akan menghambat proses pelaksanaan Otsus
Papuavi. MRP dikuatirkan akan menjadi jauh lebih kuat dari
lembaga Gubernur dan DPR Provinsi Papua. Bahkan, ada
tuduhan lain, bahwa keberadaan MRP berpotensi serius
menjadi ancaman bagi keutuhan NKRI apabila elemenelemen
pro kemerdekaan Papua menjadi berhasil duduk
104
sebagai anggota. Saya ingin menunjukkan fallacy dari kedua
argumen tersebut.
MRP tidak akan pernah menjadi super body, karena UU
No. 21/2001 tidak memungkinkannya menjadi super body.
Sebagai bagian dari sistem pemerintahan di Provinsi Papua,
DPR Provinsi Papua, Gubernur, dan MRP memiliki tugasnya
sendiri-sendiri dan harus mampu bekerja sama demi
kemaslahatan seluruh rakyat Papua. Mandat MRP,
sebagaimana yang didefinsikan oleh UU No. 21/2001 adalah
“… memiliki kewenangan tertentu [catatan penulis: bukan
kewenangan tidak terbatas sebagaimana yang diimplikasikan
dalam istilah super body] dalam rangka perlindungan hakhak
orang asli Papua …”. Perlindungan seperti ini perlu
karena UU No. 21/2001 sendiri mengakui adanya berbagai
pengingkaran hak-hak orang asli Papua selama ini,
sebagaimana yang termaktub dalam bagian “Menimbang”
huruf f dan gvii.
Mungkin yang dikuatirkan oleh sementara petinggi
negara ini adalah klausul-klausul di dalam UU No. 21/2001
yang memberikan tugas dan wewenang kepada MRP untuk
“… memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap halhal
tertentu (lihat pasal 20 dan Pasal 29 ayat 1 UU No.
21/2001); memberikan hak kepada MPR untuk “meminta
peninjauan kembali terhadap Perdasi dan Keputusan
Gubernur yang dinilai bertentangan dengan perlindungan
hak-hak orang asli Papua” (pasal 21 ayat 1 huruf b); atau juga
memberikan hak kepada MRP untuk ikut serta berperan di
dalam mengatur pemanfaatan dana-dana yang diperoleh
karena pemberlakuan Otsus Papua (Pasal 34 ayat 7).
105
Kalau demokratisasi adalah salah satu inti reformasi di
Indonesia, maka sebetulnya tidak ada yang luar biasa dengan
kewenangan-kewenangan MRP sebagaimana yang diatur
dalam UU No. 21/2001. Demokratisasi memberikan peranan
sebesar-besarnya kepada rakyat untuk berperan di dalam
pengambilan berbagai keputusan yang menyangkut dirinya.
Di Papua, MRP adalah salah satu wujud prinsip demokratisasi
itu. Dengan demikian, apabila Gubernur dan DPR Provinsi
Papua bekerja dengan selalu mendengar dan mengakomodasi
aspirasi masyarakat dan rakyat Papua, maka tidak perlu ada
kekuatiran bahwa MRP akan bertindak dengan tidak
sewenang-wenang, misalnya dengan tidak menyetujui
Rancangan Perdasus, dan sebagainya. Sebaliknya, jika ada
anggota MRP yang justru tidak mampu bekerja dengan jujur
dan baik, pasti orang-orang asli Papua sendirilah yang
mencopotnya, karena konstituen setiap anggota MRP sangat
jelas: mewakili masyarakat adat, atau masyarakat agama, atau
perempuan.
Kekuatiran bahwa MRP bisa menjadi kendaraan politik
elemen-elemen pro kemerdekaan di Papua juga adalah
sesuatu yang berlebihan dan tidak masuk akalviii. UU No.
21/2001 sudah memiliki mekanisme seleksi, sehingga bisa
diperoleh orang-orang asli Papua yang patut dan layak
menjadi anggota MRP. Salah satu persyaratannya sudah
tertera di dalam Pasal 23 ayat 1 huruf a, yaitu
“mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada rakyat
Papua.”
106
Jangan-jangan sikap kuatir yang berlebih-lebihan dari
elemen-elemen pemerintah pusat ini sebetulnya adalah
bentuk lain dari ketidakpercayaan mereka terhadap orangorang
Papua – siapa pun orang Papua itu. Dan kalau memang
benar demikian, maka hal ini sebetulnya adalah salah satu
pengejawantahan dari kecurigaan yang sudah begitu lama
dipelihara dan dipupuk oleh elemen-elemen tertentu negara
kepada orang-orang asli Papua. Misalnya, salah satu
dokumen yang dihasilkan oleh Departemen Dalam Negeri
pasca penyelenggaraan Kongres II Papua memasukkan
sejumlah nama tokoh Papua, mulai dari mantan Gubernur,
rohaniwan, sampai jenderal, ke dalam apa yang disebut
sebagai Konspirasi Papua Merdeka Pasca Kongres 2000ix.
Implikasinya adalah, kalau tokoh-tokoh Papua yang jelasjelas
sudah terbukti begitu lama berbakti kepada Ibu Pertiwi
dan merupakan bagian dari sistem politik NKRI ternyata
masih dicurigai, lantas bagaimana nasib rakyat Papua biasa?
Inpres 1/2003 dan Tantangan Membangun Kepercayaan
(Trust Building)
Yang harus selalu diingat, bahwa Otsus Papua adalah alat
rekonsiliasi. Kalau kita membaca bagian “Menimbang” UU
No. 21/2001 akan terlihat jelas pengakuan Negara tentang
berbagai kesalahan dan pelanggaran terhadap hak-hak orang
asli Papua yang terjadi dalam waktu yang sangat lama di
waktu lalu. Otsus diharapkan bisa menjembatani pihakpihak
yang berseberangan. Kalau diberikan kesempatan,
Otsus seharusnya bisa menciptakan rekonsiliasi itu. Tetapi
107
rekonsiliasi tidak mungkin terjadi serta merta. Ia
memerlukan waktu. Dan yang harus dihindari adalah
timbulnya kecurigaan terus menerus, karena kalau itu yang
terjadi tidak akan pernah ada rekonsiliasi atas dasar saling
percaya.
Beberapa hari sesudah Inpres 1/2003 diterbitkan, dan
ketika foto-copy-nya mulai marak beredar, sejumlah individu
Papua bertemu di Jayapura. Sebagian di antara mereka
berasal dari luar Jayapura karena diundang untuk menghadiri
peringatan Hari Penginjilan 5 Februari 2003 dan
pencanangan membangun budaya damai di Papua. Mereka
bukanlah pejabat tinggi atau politisi, tetapi akademisi dan
intelektual yang terlibat dalam penyusunan draf RUU Otsus
pada tahun 2001. Mereka berusaha untuk mengetahui latarbelakang
dikeluarkannya Inpres tersebut, serta mencoba
memperkirakan apa saja dampak Inpres tersebut andaikata
tetap dipaksakan untuk diimplementasikan.
Salah seorang peserta diskusi, seorang pendeta dan tokoh
gereja yang disegani, menyampaikan isi hatinya seperti
berikut ini, “Apakah masih ada tempat bagi orang Papua di
dalam Republik [Indonesia]? Kita sudah mencoba dengan
sekuat tenaga dan dengan seluruh daya kita untuk menjadi
orang-orang Indonesia yang baik. Kita berusaha
mewujudkan amanat rakyat, seperti dalam Tap MPR, dengan
menyusun draf RUU Otsus Papua agar masalah-masalah
Papua bisa diselesaikan, dan agar NKRI tetap utuh. Tetapi,
sepertinya seluruh upaya kita itu tidak dihargai. …”.
Salah satu kesimpulan yang terus muncul dalam diskusi
tersebut, dan diskusi-diskusi sesudahnya, adalah bahwa
108
kepercayaan rakyat Papua terhadap pemerintah pusat akan
memudar dengan cepat akibat diterbitkannya Inpres 1/2003.
Padahal secara struktural rasa percaya itu telah dicoba untuk
dibangun melalui proses penyusunan draf RUU Otsus di
Papua, dan dengan memperjuangkannya di Jakarta, walaupun
dengan susah payah.
Pada bagian akhir Bab 5 buku ini dikemukakan tentang
pentingnya mengedepankan dialog secara terus menerus
dalam mencari solusi atas berbagai masalah di Papua. Dialog
damai tidak akan menghasilkan buah-buah kemaslahatan
kalau tidak ada rasa percaya yang terbangun antarpihakpihak
yang berbeda pendapat dan bersengketa. Dengan
perkataan lain, syarat paling mendasar bagi penyelesaian
masalah-masalah Papua secara damai di dalam NKRI adalah
terbangunnya rasa percaya rakyat Papua yang kukuh kepada
Pemerintah – dan itu sebenarnya bisa dicapai dengan
penerapan Otsus secara baik, benar, utuh dan konsekuen.
UU No. 21/2001 sendiri menegaskan hal itu. Di dalam bagian
penjelasan UU dikatakan, bahwa penetapan dan penerapan
UU Otonomi Khusus merupakan “… suatu langkah awal
yang positif dalam rangka membangun kepercayaan rakyat
kepada Pemerintah, sekaligus merupakan langkah strategis
untuk meletakkan kerangka dasar yang kukuh bagi berbagai
upaya yang perlu dilakukan demi tuntasnya masalah-masalah
di Provinsi Papua”.
109
Reaksi Masyarakat Internasional
Beberapa waktu sesudah RUU Otsus Papua disahkan,
Papua dikunjungi oleh sejumlah duta besar Negara-negara
sahabat, di antaranya para dubes yang tergabung dalam Uni
Eropa dan Dubes Amerika Serikat. Kebetulan saya hadir
dalam pertemuan-pertemuan tersebut, dan karenanya dapat
mengikuti dengan baik pemaparan dari para dubes tersebut.
Selain menyatakan dukungan Negara mereka masing-masing
bagi kedaulatan dan integritas NKRI, hal yang menonjol
dalam setiap penyampaian para Dubes tersebut adalah
keinginan pemerintah mereka masing-masing untuk melihat
UU No. 21/2001 segera diterapkan secara full-force di Papua.
Mereka juga menyampaikan komitmen untuk membantu,
salah satunya dalam bentuk rencana Komisi Eropa
menyediakan dana dan bantuan teknis bagi pemberdayaan
birokrasi di Papuax.
Karena itu tidaklah mengherankan ketika timbul berbagai
keprihatinan organisasi-organisasi internasional terhadap
Inpres No. 1/2003. International Crisis Group (ICG) yang
berpusat di Brussel mengeluarkan Indonesia Briefing tanggal
9 April 2003 yang berjudul “Dividing Papua: How Not To Do
It”xi. Lembaga studi kebijakan internasional yang sangat
berpengaruh ini menyimpulkan bahwa Inpres No. 1/2003
ternyata menyebabkan lebih banyak ketegangan dan
kekacauan dibandingkan berbagai kebijakan pemerintah
sebelumnya mengenai Papua.
ICG menilai bahwa motivasi yang sesungguhnya yang
melatarbelakangi dikeluarkannya Inpres No. 1/2003 adalah
110
melemahkan pergerakan kemerdekaan Papua. Tetapi fakta
di lapangan menunjukkan bahwa ketimbang melemahkan,
Inpres ini justru semakin meningkatkan ketidakpuasan dan
ketidakpercayaan kolektif masyarakat Papua terhadap
pemerintah pusat. Apabila terus dipaksakan, maka hal ini
akan bermuara pada keengganan kelompok-kelompok
moderat di Papua untuk bekerjasama dengan pemerintah.
Reaksi terbaru adalah dari Center for Preventive Action,
Council on Foreign Relations (CFR), yang berkedudukan di
New York, Amerika Serikat. Think-tank independen dan
berpengaruh di tingkat internasional ini menerbitkan suatu
laporan yang berjudul “Indonesia Comission: Peace and
Progress in Papua”.xii UU Otsus Papua yang diimplementasi
secara penuh dan konsekuen, menurut lembaga ini,
merupakan pemecahan masalah yang memenangkan semua
pihak (win-win solution). Dan, agar hal ini dapat terjadi,
diperlukan dua hal. Pertama, Otsus Papua hendaknya
dipandang oleh orang-orang Papua sebagai bentuk
demokratisasi dan bukannya suatu mekanisme untuk
menutup (foreclose) atau mematikan konsep merdeka.
Sebaliknya, penguasa Indonesia perlu memperlakukan Otsus
Papua sebagai alat untuk memenuhi keprihatinan dan
keinginan legal orang-orang asli Papua, ketimbang
memandangnya sebagai jembatan untuk mencapai
kemerdekaan politik.
CFR berpendapat bahwa Otsus harus segera
diimplementasikan secara penuh dan efektif, dan mendesak
pemerintah Indonesia untuk menunda rencana memekarkan
Provinsi Papua menjadi tiga provinsi. Sejalan dengan isi UU
111
Otsus, CFR menyatakan bahwa semua bentuk penataan
Provinsi Papua harus dikonsultasikan dengan MRP – dan
karenanya MRP harus segera dibentuk.
Yang menarik dari laporan CFR ini adalah gagasan
mereka secara terinci tentang perlunya menggalang
dukungan dana dan bantuan teknis internasional bagi
pelaksanaan Otsus Papua secara benar dan utuh. Di dalam
laporan itu telah diidentifikasi organisasi-organisasi donor
dan negara-negara mana saja yang dapat dimintai
partisipasinya. CFR juga memberikan sejumlah rekomendasi
yang berkaitan dengan pemberdayaan pemerintahan,
peningkatan ekonomi, keamanan, pembangunan sosial, serta
keadilan dan rekonsiliasi.
Apa Yang Sebaiknya Dilakukan Sekarang?
Menurut ICG, pemerintah pusat memiliki tiga pilihan
sehubungan dengan telah diterbitkannya Inpres No. 1/2003.
Pertama, membatalkan Inpres tersebut – suatu hal yang
nampaknya sulit terjadi, karena itu berarti pemerintah pusat
akan kehilangan muka. Kedua, memberlakukan Inpres
tersebut walaupun telah ditentang secara terbuka – hal yang
juga sulit dilaksanakan, karena mereka yang pro-pemekaran
memerlukan waktu untuk membuktikan bahwa rakyat Papua
benar-benar menyetujui langkah tersebut. Ketiga, secara
sengaja menunda pelaksanaan isi Inpres sampai sesudah
Pemilu 2004, atau bahkan lebih lama lagi, sehingga Otsus
tetap dapat dijalankan.
112
Mungkin yang sementara terjadi sekarang ini adalah
pilihan ketiga, seperti yang dikemukakan oleh ICG di atas.
Tetapi, menurut hemat saya, apa pun pilihan itu, pemain
utamanya tetap masih pemerintah pusat, sementara rakyat
Papua tidak lebih dari sekedar objek keputusan-keputusan
politik. Meminjam istilah Drs. Herman Monim, salah
seorang mantan Wakil Gubernur Provinsi Irian Jaya, “… kita
sedang diadu domba …”xiii Karena itu, akan jauh lebih baik
apabila pemerintah, politisi, tokoh-tokoh masyarakat, dan
rakyat Papua sendirilah yang menentukan apa yang terbaik
bagi dirinya dengan mencoba memetik semua manfaat dari
semua produk hukum yang ada, termasuk dari Inpres No.
1/2003.
Kalau kita menumpang-tindihkan UU No. 21/2001 dan
Inpres No. 1/2003, setidak-tidaknya ada dua hal yang
konsisten satu sama lain. Pertama, kedua produk hukum itu
memungkinkan terjadinya pemekaran provinsi Papua. Yang
menjadi perbedaan adalah soal proses dan prosedur
pemekaran. Kedua, baik UU No. 21/2001 maupun Inpres No.
1/2003 sama-sama mencita-citakan kesejahteraan dan
kemaslahatan rakyat Papua. Yang menjadi persoalan, adalah
yang satunya melihat pentingnya mempertahankan Papua
yang utuh dan bersatu sehingga sumberdaya dan kekayaan
alam yang tidak tersebar merata itu bisa dimanfaatkan untuk
seluruh rakyat Papua, sementara yang lain memandang
sebaiknya Provinsi Papua yang besar ini dipecah sehingga
pelayanan kepada masyarakat bisa dipercepat.
Karena itu, langkah-langkah yang sebaiknya ditempuh
diusulkan seperti berikut ini. Pertama, sudah saatnya
113
dilakukan pertemuan antarberbagai unsur masyarakat Papua,
termasuk dengan melibatkan pihak pemerintah provinsi,
kabupaten/kota, dan parlemen, untuk menjembatani berbagai
perbedaan pendapat sehubungan dengan diterbitkannya
Inpres No. 1/2003. Pada pertemuan seperti ini sebaiknya
hadir para tetua yang dihormati oleh seluruh masyarakat
Papua dan bisa menjadi penengah, misalnya bapak Isak
Hindom.
Kedua, apabila dalam pertemuan tersebut disepakati
bahwa diperlukan semacam “lembaga antara” yang
menjembatani Provinsi dan Kabupaten/Kota yang sekarang
sudah berjumlah 28 buah ini, sehingga penggunaan dana
Otsus dari berbagai sumber bisa lebih efektif dan langsung
dinikmati sebanyak-banyaknya oleh rakyat seluas-luasnya,
maka ada peluang-peluang di dalam UU No. 21/2001 yang
bisa dimanfaatkan. Misalnya, Gubernur Provinsi Papua bisa
saja menunjuk sejumlah koordinator yang bertugas, atas
nama Gubernur, mengkoordinasi pelaksanaan pemerintahan
dan pembangunan pada suatu wilayah yang terdiri dari
beberapa kabupaten tertentu. Hal ini sudah dilakukan di
beberapa provinsi di Indonesia.
Peluang lain adalah memanfaatkan celah yang tersedia
pada Pasal 11 UU No. 21/2001. Ayat (1) pasal 11 tersebut
berbunyi “Pemerintah Provinsi Papua dipimpin oleh seorang
Kepala Daerah sebagai Kepala Eksekutif yang disebut
Gubernur” (garis bawah untuk penekanan oleh penulis).
Ayat (2) berbunyi “Gubernur dibantu oleh Wakil Kepala
Daerah yang disebut Wakil Gubernur”. Perhatikan, bahwa
walaupun pada ayat (1) dinyatakan bahwa hanya bisa ada
114
satu orang Gubernur di Provinsi Papua, ayat (2) tidak
menyebut jumlah Wakil Gubernur (Wagub) sama sekali.
Artinya, sebenarnya dimungkinkan bagi Provinsi Papua
untuk memiliki lebih dari satu Wagub.
Mungkin ini adalah jalan tengah dan damai yang paling
bisa diterima berbagai pihak untuk saat ini, sementara kita
menunggu pembentukan MRP. Namun harus dipastikan,
bahwa para Wagub itu benar memiliki kekuasaan eksekutif
tertentu dan tidak sekedar simbol, misalnya dengan
memenuhi syarat-syarat berikut ini:
v Para Wagub dipilih melalui proses politik tertentu yang
memungkinkannya memperoleh legitimasi rakyat dan
Gubernur Provinsi Papua;
v Para Wagub berkedudukan di kota-kota tertentu di
Papua, alias tidak semuanya mengumpul di Jayapura
seperti di waktu lalu; dan
v Para Wagub diberikan kewenangan yang nyata dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan bidang pembangunan
tertentu, termasuk dalam hal mengkoordinasi
perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan dana untuk
membiayai pembangunan bidang-bidan tertentu tersebut.
Yang harus selalu diingat adalah bahwa lembaga Wagub
ini tidak boleh dibuat menjadi tambun akibat penuh dengan
birokrat Kalau itu yang terjadi, maka dana Otsus yang luar
biasa banyaknya akan terserap untuk membiayai birokrasi.
Organisasi kantor para Wagub harus dibuat seramping
mungkin sehingga memudahkannya untuk bergerak dengan
lincah. Lebih dari pada itu, para Wagub harus diberikan
mandat dan kewenangan untuk menempuh segala cara yang
115
legal agar para bupati/walikota dan para kepala distrik di
dalam wilayah kerjanya bekerja secara baik, sehingga
pelayanan pemerintahan benar-benar sampai ke tingkat yang
paling bawah.
Kalau usul seperti ini diterima, kita bisa mengoptimalkan
kembali seluruh penyelenggaraan Otsus di Provinsi Papua.
Sekaligus tersedia cukup waktu dan ruang sosial-politik yang
memadai bagi pihak-pihak yang berwenang untuk secara
terencana dan sistematis mempersiapkan pemekaran Provinsi
Papua menjadi provinsi-provinsi baru pada waktunya, yaitu
ketika telah ada “ ... persetujuan MRP dan DPRP setelah
[MRP dan DPRP] memperhatikan dengan sungguh-sungguh
kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan
kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.”
(Pasal 76 UU No. 21/2001).
Catatan Akhir
i Harian pagi nasional terbesar Kompas, misalnya, mendedikasikan
seluruh rubrik FOKUS pada hari Minggu 23 Februari 2003 untuk
membahas Soal Inpres 1/2003 dalam kaitannya dengan Otsus Papua.
Sebuah artikel dalam rubric FOKUS itu, yang berjudul `Menelusuri
Redaksi Sebuah Instruksi’, menunjukkan dengan gamblang berbagai
kejanggalan Inpres 1/2003, baik dalam hal proses penyusunannya
maupun redaksinya. Informasi selengkapnya kunjungi situs
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0302/23/fokus/142615.htm
Selain itu, Harian sore nasional Suara Pembaruan dalam Tajuk
Rencananya pada tanggal 27 Februari 2003 menghimbau pemerintah
untuk melakukan tiga langkah koreksi. “Pertama, bekukan dan tunda
116
pelaksanaan Inpres No. 1/2003. … Kedua, percepat pembentukan
MRP. …, Ketiga, DPR patut segera membahas status UU No.
45/1999.” Suara Pembaruan juga menyatakan, “Jelas, Presiden
Megawati Soekarnoputri patut memperlihatkan sikap kepemimpinan
yang konsekuen dalam menangani situasi di Papua. Jangan asal
menandatangani sebuah dokumen yang disodorkan di mejanya tanpa
menelitinya secara saksama.”
ii Lihat misalnya artikel J.R.G Djopari yang berjudul `Pemekaran Papua
Positif bagi Rakyat Papua’, dimuat dalam Sinar Harapan tanggal 5 Maret
2003, http://www.sinarharapan.co.id/berita/0303/05/opi02.html
iii Hinga kini belum pernah ada seorang pun ahli Hukum Tata Negara
Indonesia yang membenarkan dikeluarkannya Inpres No. 1/2003. Lihat
misalnya artikel `Inpres No. 1/2003 tentang Papua, Preseden Buruk’
pada harian Kompas Jumat 21 Maret 2003 yang memuat pendapat Dr.
Satya Arinanto, atau pendapat Dr. Indra J. Pialang dalam tulisan `Inpres
Pemekaran Papua Abaikan Karya Akademis’ yang dimuat harian Sinar
Harapan pada tanggal yang sama. Prof. Harun Rasjid pun menyatakan
hal yang sama dalam salah satu wawancara di TVRI.
iv Pendapat itu misalnya disampaikan oleh Dirjen Otda Depdagri
Oentarto yang dikutip menyatakan bahwa, “… Inpres pemekaran Papua
merupakan implementasi UU No. 45/1999 yang tidak pernah dibatalkan
denganlahirnya UU No. 21/2001. Persetujuan MRP dan DPRP hanya
dibutuhkan pada pembentukan provinsi baru setelah lahirnya undangundang
otonomi khusus Papua …” (Kompas 8 Februari 2003,
`Pemekaran Papua Tidak Salahi Otonomi Khusus’, dapat diakses di
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0302/08/daerah/120096.htm)
v Semua referensi mengenai risalah pembahasan RUU tentang Otsus
Papua, termasuk dalam kaitannya dengan status UU No. 45/1999, dapat
dibaca dalam buku Proses Pembahasan Rancangan Undang-undang tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, tahun 2002.
vi Lihat misalnya salah satu artikel harian Suara Karya pada tanggal 15
April 2003 yang berjudul `Mendagri Nilai MRP Bahayakan Stabilitas
Keamanan di Papua.’ Harian Papua Post tanggal 18 April menurunkan
berita yang berjudul `Pusat Sadari `Superbody’ di Dalam UU Otsus’,
117
yang nampaknya dikemukakan secara terbuka oleh Mendagri ketika
berkunjung ke Timika pada tanggal 12 April.
vii Bunyi bagian pertimbangan huruf f selengkapnya adalah “bahwa
penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di
Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan,
belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat,
belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan
belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi
Manusia di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua”. Huruf g
berbunyi, “bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam
Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan
taraf hidup masyarakat asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya
kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah lain, serta merupakan
pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua”.
viii Isi tulisan Harsanto Drs. Adi Soekamto, M.M., seorang pemerhati
masalah sosial politik yang bekerja di Kantor Menko Polkam R.I, yang
berjudul `Potensi Papua Jadi Timtim Kedua’ (Suara Karya, 16 April
2003), menunjukkan dengan jelas kecurigaan seperti itu. Menurutnya
“… Munculnya pro dan kontra MRP, karena ada kekhawatiran bahwa
MRP justru dipakai sebagai kepanjangan tangan dari kelompokkelompok
pro kemerdekaan Papua. … Salah satunya mereka [PDP]
akan menggunakan MRP sebagai wahana melicinkan jalannya misi
Papua Merdeka. Walaupun beberapa anggota DPRD, LSM, kalangan
perguruan tinggi Papua berjanji akan menyortir anggota MRP agar
terbebas dari unsur-unsur PDP (waktu audiensi dengan Menko Polkam
di lantai VI Kantor Polkam), namun tidak ada jaminan unsur PDP dan
pro kemerdekaan Papua tidak masuk MRP.”
ix Lihat Nota Dinas Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa kepada Menteri
Dalam Negeri No. 578/CD/Kesbang/D IV/VI/2000, tanggal 9 Juni
2000.
x Sayangnya niat baik Komisi Eropa ini juga dicurigai, paling tidak dalam
tulisan Harsanto Adi Soekamto (lihat Catatan Akhir nomor viii di atas).
Ia mengatakan bahwa proyek EC ini sesungguhnya adalah upaya
terselubung untuk “… mendukung peningkatan SDM di Pemda Papua
guna mempersiapkan Papua Merdeka.”
118
xi Laporan lengkap dapat diakses pada situs http://www.crisisweb.org.
Proyek ini dipimpin oleh Laksamana (purn) Dennis C. Blair, dengan
David L. Phillips sebagai Direktur.
xii Dokumen lengkap berbahasa Inggris dan Indonesia (bukan
terjemahan resmi) dapat diakses di http://www.cfr.org.
xiii Lihat wawancara dengan WPNews, Kamis 6 Maret 2003.
119
7
POST SCRIPTUM: BAGAIMANA PROSPEK
OTSUS PAPUA KE DEPAN?
Jadi, cerahkah prospek Otsus Papua di tahun-tahun
mendatang? Jawabannya bisa ya, bisa juga tidak. Kalau
Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Papua dipahami dalam keseluruhannya
(tidak sepotong-sepotong) dan dilaksanakan dengan baik,
utuh dan konsekuen, maka prospek Otsus sebagai pintu
masuk penyelesaian berbagai masalah Papua akan cerah,
sekaligus pula integritas NKRI akan semakin kukuhi.
Tetapi, Otsus Papua pasti akan memiliki prospek yang
suram apabila terjadi salah satu saja dari hal-hal berikut ini.
Pertama, apabila aparatur Pemerintahan Pusat tidak
memahami dan/atau tidak mau memahami bahwa Provinsi
Papua, secara politis dan hukum, tidak dapat lagi
diperlakukan sama seperti dahulu karena status otonomi
khusus yang dimilikinya sekarang. Apalagi kalau
ketidakpahaman itu berwujud kurangnya dukungan
pemerintah pusat kepada sistem pemerintahan di Papua
untuk melaksanakan kewenangannya dengan baik sesuai
dengan isi undang-undang otonomi khusus ini. Atau, apabila
selalu ada kecurigaan elemen-elemen tertentu di Pusat
terhadap orang-orang Papua dan Otonomi Khusus Papua,
yang dibarengi dengan berbagai manuver politik untuk
melumpuhkan penyelenggaraan Otsus Papua. Contoh paling
120
mutakhir, sebagaimana dilaporkan oleh harian Suara
Pembaruan tanggal 3 Mei 2003, adalah tentang rapat intern
fraksi salah satu partai besar pada tanggal 1 Mei 2003 di
gedung DPR RI. Elemen-elemen tertentu pimpinan fraksi
tersebut menghendaki supaya nama Irian Jaya dikembalikan
karena mereka kuatir, bahwa “… nama Papua mengarah pada
cita-cita merdeka sehingga mengancam keutuhan Negara
Kesaturan Republik Indonesia.” Untunglah ada orang-orang
seperti Drs. Lukas Karl Degey, yang adalah salah satu ketua
partai besar itu, yang dengan sabar selalu mengingatkan agar
nama Papua tidak dipermasalahkan lagi, karena sudah masuk
dalam UU No. 21/2001ii.
Yang kedua, prospek Otsus Papua pasti suram apabila
semua bentuk pelanggaran HAM tidak dihentikan, termasuk
apabila pelanggaran-pelanggaran HAM di waktu lalu gagal
diselesaikan secara adil dan bermartabat.
Ketiga, prospek Otsus pasti suram apabila kapasitas dan
integritas pemerintahan Papua gagal ditingkatkan dan
diberdayakan. UU No. 21/2001 pada dasarnya memberikan
kesempatan untuk menciptakan perubahan bagi peningkatan
berbagai aspek kehidupan masyarakat Papua, dan ruang bagi
penataan kembali pemerintahan di Papua terbuka sangat
lebar. Persoalannya: apakah perubahan itu mau dilakukan
atau tidak; apakah para birokrat dan anggota parlemen
provinsi dan kabupaten/kota mau mendengar suara rakyat
yang paling terabaikan selama ini; dan apakah KKN di
kalangan birokrasi dan parlemen bisa diberantas tuntas dari
bumi Papua atau tidak.
121
Keempat, prospek Otsus pasti suram apabila pemerintah
provinsi dan kabupaten/kota gagal mendiseminasi/
mengkomunikasikan berbagai informasi mengenai
penggunaan dana Otsus sampai ke tingkat paling bawah.
Informasi yang didiseminasi itu haruslah sesuai dengan
kenyataan.
Kelima, prospek Otsus pasti suram kalau tidak ada
tindakan hukum yang dilakukan terhadap para
penyelenggara negara (birokrat dan anggota parlemen di
tingkat provinsi dan kabupaten/kota) di Papua yang
menyalahgunakan kedudukannya dan kewenangannya
dengan melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme. Harus ada
tindakan tegas yang diambil terhadap mereka. Hanya dengan
cara inilah kecurigaan masyarakat luas bahwa dana Otsus
telah disalahgunakan dapat dibendung.
Adalah tanggung jawab seluruh jajaran pemerintah,
parlemen, dan nantinya MRP, di seluruh pelosok Papua,
dengan dukungan seluruh masyarakat sipil Papua, untuk
memastikan bahwa faktor-faktor kritis yang disebut di atas
tidak terjadi. Kalau hal itu bisa dicapai, maka kita punya
alasan kuat untuk optimis dengan Otsus Papua. Dan, Otsus
Papua pasti memiliki prospek yang cerah.
122
Catatan Akhir
i Sabam Siagian, seorang wartawan dan diplomat senior dan pemerhati
perkembangan sosial politik Indonesia dan internasional, membahas hal
ini dengan tajam dalam artikelnya yang berjudul `Papua, Tetap dalam
NKRI?’, sebagaimana dimuat dalam Suara Pembaruan 3 Mei 2003
(http://www.suarapembaruan.com/News/2003/05/03/Editor/edi01.h
tm). Ia memulai tulisannya dengan mengatakan bahwa peta resmi
Indonesia tahun 2003 telah berubah karena Timor Timur serta Sipadan
dan Ligitan sudah tidak lagi menjadi wilayah Indonesia. Siagian
menyambung, “Menatap peta baru NKRI itu, wajar saja kalau timbul
keprihatinan, apakah dalam peta Indonesia yang diterbitkan pada tahun
2013, sepuluh tahun dari sekarang, Aceh dan Papua masih merupakan
bagian NKRI? … Hal ini perlu dikemukakan untuk menandaskan bahwa
mempertahankan NKRI tidak cukup dengan ancaman ataupun
pernyataan yang diucapkan sabagai mantera: Siapa yang membahayakan
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia akan ditindak secara
tuntas! … Sekarang saja, setelah UU Otonomi Khusus telah disahkan,
maka ketentuan dalam undang-undang itu untuk membentuk Majelis
Rakyat Papua belum terlaksana. Bahkan di awal tahun ini tiba-tiba
dikeluarkan Inpres No. 1. … Papua sekarang merupakan fokus
perhatian internasional. … Jangan tambah persoalan yang meningkatkan
keresahan masyarakat. Kalau nanti pada tahun 2013 peta RI
menunjukkan wilayah tanpa Papua, maka janganlah salahkan intervensi
asing atau subversi internasional.”
ii Informasi lebih lanjut baca artikel “FPDI-P Setuju Inpres Pemekaran:
Kebijakan Pemerintah Soal Papua Maju Mundur”, Suara Pembaruan 3
Mei 2003, dapat diakses di
http://www.suarapembaruan.com/News/2003/05/03/Nasional/Nas1
0.htm
123
Lampiran 1. Rangkuman isu-isu pembangunan dalam UU
No. 21 tahun 2001 yang perlu dijabarkan lebih lanjut dalam
APBD Provinsi Papua
Referensi
dalam UU 21
Isu Pembangunan
Pasal 2 Konsultasi, penetapan, sosialisasi dan
perbanyakan lambang-lambang daerah
Pasal 3 ayat
2
Konsultasi mengenai perubahan dan penetapan
Kecamatan menjadi Distrik
Pasal 3 ayat
3
Konsultasi mengenai perubahan dan penetapan
Desa dan/atau Kelurahan menjadi Kampung atau
nama lain
Pasal 3 ayat
4
Konsultasi mengenai pembentukan,
Kamis, 21 Mei 2009
Langganan:
Postingan (Atom)